Seragam putih biru rambutnya sebahu dengan poni yang hampir menutupi mata, anak gadis suram itu berdiri di sudut ruang kelas.
Krett...
Qiana membuka pintu kelas, berjalan perlahan mendekati anak perempuan itu. Langkah kakinya terhenti saat melihat kuku-kuku panjang terlihat keluar dari balik pinggang anak itu. Kukunya semakin tajam, lantas anak itu menegakan kepalanya dengan mata bulat hitam dan mulut terbuka lebar.
Kring.
Kring.
Kring.
Alarm di atas meja belajar Qiana berbunyi nyaring, disitu juga ia terbangun dari mimpi dengan kelelahan, napasnya terasa berat sampai dahinya berkeringat.
Mimpi lagi!
Gerutu ia pada mimpi yang sama selama satu minggu ini seakan bunyi alarm tadi adalah penyelamat bagi dirinya kala kesadaran tidak mampu diraih, rasanya mimpi buruk itu terlalu nyata dirasakan.
Ini alarm jam enam pagi, entah ia semalam tidur jam berapa? Rasanya tenaganya seperti terkuras habis, ia meregangkan tangan guna merilekskan otot yang kaku. Dari ujung selimut yang menutupi kaki ada yang bergerak terus mendekat sampai pada betisnya. Qiana menarik pelan-pelan selimut itu ingin tau apa yang bergerak di bawah kakinya.
"Miyaong-miyaong."
Ternyata kucing yang sudah dirawatnya semenjak indekos di sini. Qiana tersenyum langsung menarik hewan berbulu abu-abu itu. Ia memutuskan indekos meski tidak mudah orang tuanya kabulkan tapi akhirnya Qiana berhasil meyakinkan mereka untuk percaya jika dirinya ingin mencoba mandiri.
Ia segera bersiap. Karena jarak sekolah tidak terlalu jauh dari indekos, ia hanya perlu berjalan kaki untuk sampai pada SMA Taman Siswa. Banyak yang kos di tempat ini juga berjalan santai bersama yang lainnya dibawah pohon-pohon rindang yang mengapit jalanan.
Dari arah belakang angkutan kota baru saja berhenti.
“Qiana ....”
Pelita yang masih diambang pintu anggot langsung berteriak begitu melihat Qiana. Sampai semua penumpang terperanjat. Ia buru-buru turun, berlari ke arah Qiana.
Napasnya masih terengah-engah sampai di dekat Qiana, gadis itu masih terus memperhatikan Pelita. “Gue mau cerita. Tapi bentar gue cape.” Pelita masih mengatur napasnya dengan tangan memegang Qiana.
“Siapa suruh lari-lari.” Qiana menepuk pelan pundak Pelita.
“Udah-udah sambil jalan yu.”
Keduanya mulai berjalan menuju gerbang sekolah. “Gue kemarin pergi lagi kerumah terakhir ibu kerja. Maksudnya kalo ada barang atau apa ketinggalan dari ibu, mau diambil.”
“Terus?”