Samara berdiri mematung di ambang pintu rumah tua. Lokasinya hanya satu-satunya di pelosok hutan desa. Ia mengerjap kala mengintip pemandangan di dalamnya yang tak asing.
Ingatan akan mimpi buruknya seketika berputar dalam benak. Kobaran api. Darah segar. Rasa gemetar. Semua berkecamuk dalam bayang-bayang mimpi yang kelam.
Rasa merinding sontak menjalar ke sekujur tubuhnya. Kini ia melihat jelas ilusi yang hampir menjelma nyata. Lantas ia membatin; apa mimpinya memang punya makna?
Selama ini, ia pikir Rumah Kulon menjadi momok dari tempat yang sering disinggahinya dalam mimpi-mimpi buruk. Tetapi melihat kemiripan interior rumah tua di sini membuatnya menganga syok.
“Nduk?” sapa Gusti Bratawati, membuyarkan lamunannya. “Nduk, kamu kenapa?”
Samara mengerjap, cepat-cepat menggeleng tersenyum, “Enggak apa-apa kok, Bu.”
“Duduk di ruang tamu dulu. Aku buatkan minuman…” ujarnya seraya mempersilahkan masuk. “Adanya cuma teh saja, ndak apa-apa, yo?”
“Enggak usah repot-repot, Bu,” balas Samara. Namun Bu Brata melipir ke dapur, tetap ingin membuatkan minuman.
Di ambang pintu masih berdiri anak kecil perempuan yang meliriknya penasaran.
Sejenak Samara tersenyum padanya dan menyapa, “Hei, nama kamu siapa?”
Anak itu segera mengalihkan pandangannya, nampak malu. Saat Samara hendak mendekatinya, anak itu berlari masuk ke dapur.
Samara lanjut melihat-lihat ruang depan. Rumah joglo ini nampak lebih kuno dari rumah mendiang ibunya di kota Solo. Ada lebih banyak dekorasi seni yang kental menggambarkan nuansa Jawa. Ada pajangan patung-patung cokelat berparas penari Jawa. Perabotan kursi, meja, dan lemari terbuat dari kayu jati.
Aura mistik begitu kuat melingkupi rumah ini. Apalagi di tiap sudut rumah ada mangkuk berisi bunga-bunga sesajen. Langsung saja ia mengernyit heran. Apakah Gusti Bratawati juga suka melakukan kegiatan spiritual seperti mendiang ibunya?
Tak mau lama-lama memikirkan hal yang membuatnya kesal, ia lanjut melihat-lihat. Ia mendekati lemari kayu yang di atasnya dipajang beberapa foto berbingkai. Ia tak melihat ada wajah-wajah darah biru keluarga Kusuma Wijaya. Hanya ada Bu Brata dan anaknya saja.
Beberapa menit kemudian, Bu Brata keluar dari dapur membawa nampan minuman. Sebelum meletakkan nampan di atas meja, beliau berucap, “Ayo, kenalan dulu. Ini namanya Cindra Kusuma Wijaya, anak perempuanku.”
Anak kecil itu menggayuti kebaya merah ibunya sambil mengintip malu-malu ke Samara.
“Hei, Cindra. Salam kenal. Namaku Samara Nadra,” ucapnya, berusaha berkenalan.
“Harusnya hari ini Cindra masuk sekolah. Tapi karena sempat demam tadi pagi, jadi bolos dulu. Sekarang sih sudah mendingan,” ujar Bu Brata.
Anak berparas polos itu masih enggan berkenalan dengan Samara. Ia berlari meninggalkan mereka. Bu Brata lanjut menyajikan minuman di ruang tamu. Keduanya duduk di sofa, saling berhadapan.
“Sugeng rawuh, nggih, Nduk,” [1] tutur Bu Brata, berbahasa Krama. “Aku sangat senang loh dengan kedatanganmu. Tapi juga…”
Ekspresi wajahnya berubah sendu. Samara dapat membaca ke mana arah percakapan ini akan bermuara.