Wangsul Nogo

Keefe R.D
Chapter #3

Bab 2. Pusara Ibunda

Setahun kemudian…

Di tengah tanah makam berdiri banyak pusara beralaskan batu hitam. Diukir khusus sebagai tempat peristirahatan terakhir para ningrat. Suatu kediaman yang agung dan damai.

Saat itu, seorang gadis tengah menyender pada pusara ibunya. Sepoi angin membuatnya semakin terlelap. Rasa dingin mulai menyergap tubuh kurusnya yang hanya memakai tank top hitam dan rok tumpuk panjang.

Seorang ibu-ibu berkebaya hitam menghampirinya dari arah belakang. Dalam ruang yang mendung, paras menawan beliau sangat cemerlang. Langkah pelannya tak ingin membangunkan yang tengah tertidur.

Beliau mengulurkan tangan, ingin menyentuh punggung gadis itu. Namun mendadak, beliau mengurungkan niatnya. Sejenak memantau, beliau hanya bisa memandang dengan penuh rasa rindu.

Kala angin berdesir lembut, hanya satu nama yang terucap olehnya, “Samara.”

***

Hembusan dingin membangunkan tidur nyenyak Samara. Saat menarik selimut kasur, tiba-tiba terdengar pintu kamarnya digedor-gedor.

Mbok Miyem berteriak, “NDORO!!! AYO BANGUN!!! SUDAH JAM DELAPAN PAGI!!!”

Sambil masih berbaring di kasur, Samara termenung. Ia teringat mimpinya.

“Ibu…” bisiknya, lirih.

Mimpi semalam, ia menyaksikan dirinya terlelap di pusara sang ibunda. Bahkan ia bisa melihat sang ibunda hendak mengelus punggungnya.

Pikirannya masih melayang. Seakan hidup di masa-masa penuh kegembiraan bersama ibunya. Ketika kesadarannya mulai pulih, ia tertegun. Sudah lama sang ibunda meninggal dunia. Namun kehadirannya selalu terasa dekat bagai masih hidup.

“Aku lupa…” gumamnya, merenung. “Sudah setahun Ibu enggak di sini. Tapi rasanya bagaikan Ibu masih tetap ada.”

Pintu kamar kembali digedor. Tak kerasan mendengar suara berisik di luar kamarnya, Samara segera beranjak dari kasur.

Saat hendak membuka kamar, ia mendengar Mbok Karsiyem menggerutu dari balik pintu, “Moso’ anak gadis bangune selalu siang-siang, toh?”

Mbok Miyem menyahut kesal, “Shush! Menengo cangkemmu! Tahu aturan kalau berbicara pada Ndoro!” [1]

Samara menarik nafas dalam. Ia segera memakai cardigan hitam. Seketika ia membuka pintu kamar, Mbok Karsiyem dan Mbok Miyem menundukkan pandangan mereka.

“Aku sudah bangun kok,” ujarnya. Lalu melipir pergi ke dapur.

Kedua mbok-mbok itu segera mengikuti langkahnya.

“Ndoro mau dibuatkan minum apa pagi ini?” tanya Mbok Miyem, ingin melayaninya.

“Seperti biasa, Mbok. Teh manis hangat,” ujar Samara seraya duduk di meja makan.

Saat Mbok Karsiyem berdehem, Samara segera mendongak ke arahnya.

“Ngapunten nggih, Ndoro—” [2] ucap si Mbok, nadanya melengking.

Sambil sungkem kepadanya, si Mbok sesekali mencuri pandang ke adiknya yang tengah membuatkan minuman di dapur. Mbok Miyem masih nampak kesal kepadanya karena berbicara dengan intonasi yang kurang menghormati pada sang tuan putri. Namun Samara tak memusingkannya. Ia tak peduli mau diperlakukan bagaimana.

Si Mbok melanjutkan ucapannya, “Ini cuma saran dari si Mbok saja loh; apa ndak sebaiknya, tiap hari saja Ndoro memantau aktifitas di Sendang Laras?”

Samara mengecap lidahnya dan balas berkata, “Jaman Ibu masih ada, enggak perlu tiap hari kok ngeliatin karyawannya yang lagi kerja di Sendang Laras. Nanti kalau ada apa-apa kan bisa hubungin aku saja—”

Lihat selengkapnya