Setelah setahun lamanya, akhirnya Samara kembali bertamu ke rumah Lik Brata. Perjalanan jauh dari Surakarta ke Desa Karanganyar ditempuh naik bus. Tujuannya tak sekedar menjaga tali silaturahmi. Ia ingin bisa mengenal keluarga ibunya lebih jauh lagi. Selama ini ia tak pernah mengenal, bahkan bertatap wajah dengan orang-orang yang menjadi saudara sekandung dengan ibunya. Inilah kesempatan yang ia miliki.
Sesampainya di pedesaan, ia masih harus menempuh jalanan yang diapit pepohonan hutan. Lokasinya terpencil dari kebanyakan rumah warga. Untungnya ada pangkalan ojek yang bisa mengantarnya masuk sampai ke pelosok hutan.
Usai membayar ongkos ojek, Samara berhenti di seberang pekarangan berpagar kayu. Hanya ada satu-satunya rumah berdiri di kelilingi pepohonan tinggi. Sejenak ia memperhatikan rumah tua bertembok krem itu. Sayup-sayup angin membuat suasana terasa damai di tempat ini.
Tiba-tiba saja, sekelebatan mimpi buruk melesat bagai karet elastis dalam kepalanya. Kobaran api, tangan berlumur darah, keris berkepala naga.
Samara terkesiap dan mengerjap. Entah mengapa ingatan itu begitu kuat melekat. Entah apakah itu hanya bunga mimpi atau ada suatu pesan tersirat—ia tak mau memusingkan hal-hal yang belum jelas kebenarannya.
Segera ia menenangkan ritme nafasnya. Lalu melangkah memasuki teras rumah. Tak lama setelah mengetuk pintu, Lik Brata membukakan pintu.
Penampilan beliau seperti terakhir kali bertemu, berkonde dan berpakaian anggun khas wanita ningrat. Kali ini berkebaya krem dan berjarik batik. Beliau punya karisma yang tak kalah mempesona dari mendiang ibunya.
“Selamat pagi, Bu’Lik,” sapa Samara.
Beliau terkesiap, terkejut mendapati kedatangannya yang tiba-tiba. Walau mereka sudah lama bertukar nomer kontak, namun Samara belum menghubunginya lagi.
Dengan bergembira, beliau menyapa, “Nduk! Bu’Lik pikir kamu ndak bakal ke sini lagi! Oh, ternyata yang ngetuk pintu kamu, toh—”
“Seperti janji saya, Bu’Lik. Saya pasti datang lagi,” ujar Samara.
Beliau membuka pintu lebar seraya menyambutnya, “Sini… masuk dulu…”
Samara melangkah masuk ke ruang tamu. Seraya duduk di sofa, ia memperhatikan ekspresi beliau yang masih terus tersenyum. Ternyata Lik Brata sudah sangat menantikan kedatangannya kembali ke rumah ini.
“Cindra lagi di sekolah sekarang. Jadi Ibu sendirian saja di rumah,” celotehnya.
Samara mengingat-ingat ini hari Rabu, waktunya anak sekolah masuk seperti biasa. Lalu ia bertanya, “Cindra masih SD, ya, Bu?”
“Moso’ kamu sudah lupa? Lah, iya… dia sekarang kelas dua SD. Makanya sering-sering main ke sini, toh, Nduk,” beliau menyindirnya. Samara tersenyum malu-malu.
Beliau masih berdiri sambil sesekali mengintip ke arah pintu dapur. Kala Samara menyadari sikap resahnya, segera ia bertanya, “Ada apa, Bu’Lik? Kok sepertinya ada yang lagi dicemaskan, ya?”
“Leres,” [1] jawab Lik Brata. “Di dapur lagi ada… ugh…”
Ekspresi beliau masih saja resah sendiri. Samara segera beranjak dari sofa dan menghampirinya. Lalu sesekali ia ikut mengintip ke arah dapur. Terlihat ada sesuatu yang mengotori lantai di sana.
Akhirnya Lik Brata memberitahunya, “Bu’Lik tadi lagi ngebersihin lantai dapur gara-gara ketumpahan minyak jelantah.”