Sebelum mendatangi kediaman Pak Hamidjoyo Santoso, Samara sempat menghubungi beliau sepulangnya dari rumah Lik Brata. Ada rencana pembuatan galeri lukisan yang hendak dibicarakannya.
Kebetulan beliau punya waktu luang di hari Kamis. Dengan senang hati beliau menyambutnya, “Monggo, mari duduk dulu, Nak Samara.”
Samara balas tersenyum seraya memasuki ruang tamu. Beliau segera menyuruh seorang mbok-mbok membuatkan minuman untuknya.
Seraya duduk di sofa, beliau bertanya, “Pripun kabar bisnis Sendang Laras sekarang ini, Nak?” [1]
“Alhamdullilah baik, Pak,” jawab Samara, bertutur lembut. “Maksud kedatangan saya ke mari mau membicarakan rencana—”
Pak Hamidjoyo menyahut dengan penuh antusias, “Gusti Laras ingin sekali punya galeri kecil di tokonya. Makanya terakhir kali, saya ingin bantu, tapi—”
Samara mengatupkan rapat bibirnya. Bernostalgia akan hari kematian sang ibunda membuat sekujur tubuhnya terasa kaku.
“Sekarang beliau sudah almarhumah. Maka yang semestinya meneruskan adalah Nak Samara sebagai anak kandung satu-satunya beliau,” ujar Pak Hamidjoyo, nadanya pelan.
Samara mengangguk dan berkata, “Saya ingat, Ibu pernah bilang kalau Bapak mau menjalin kerjasama dengan Sendang Laras.”
“Leres niku. Gusti Laras waktu itu tertarik membeli beberapa koleksi lukisan di Galeri Batilar. Mengingat kita ini masih bersaudara, Bapak bisa bantu carikan lukisan dengan konsep khusus jika Nak Samara mau.” [2]
Samara yang tak mengerti apa-apa soal konsep lukisan, sekedar mengangguk saja. “Boleh, Pak. Saya sangat senang, Bapak berkenan membantu.”
Belum lama bercakap-cakap, Pak Hamidjoyo harus pergi ke teras untuk menerima panggilan telepon. Samara menunggu sendirian di ruang tamu. Saat itulah Dokter Suseno turun dari anak tangga.
Kala mereka saling beradu pandang, waktu seakan terhenti. Mereka terdiam beberapa saat, sampai akhirnya dokter berkacamata itu mengerjap. Ia nampak terkejut dengan kehadiran Samara di rumah orang tuanya.
“Kamu… Samara, kan?” suara laki-laki itu terdengar gugup. “Lama kita tak berjumpa.”
Samara segera beranjak dari sofa dan menyapanya, “Pagi, Dok.”
Dokter Suseno menghampirinya di ruang tamu. Lalu bertanya penasaran, “Apa kamu ada keperluan datang ke mari?”
“Iya… saya mau berdiskusi dengan Pak Hamidjoyo mengenai bisnis kerajinan punya mendiang ibu saya,” jawab Samara, sama-sama gugupnya.
“Oh, begitu,” gumam sang dokter, sekilas mencuri pandang ke luar jendela. Ayahnya masih sibuk menerima telepon di teras.
Sejenak Samara melihat penampilannya yang amat necis pagi itu. Sang dokter berpenampilan rapi dengan kemeja formal dan membawa tas briefcase jadul.
Walau sudah jelas dari tampilannya, Samara masih saja ingin basa-basi untuk menghilangkan rasa gugupnya, “Dokter mau berangkat ke rumah sakit, ya?”
Dokter Suseno tersenyum dan mengangguk. “Iya, saya ada jadwal konsultasi pagi ini.”
Atmosfir di antara mereka masih terasa kaku. Mereka saling terdiam lagi.
Sang dokter berusaha menyambung obrolan kembali, “Jadi… apa kabar kamu? Sepertinya kondisi kesehatanmu sudah lebih baik, ya.”
Sudah lama sekali Samara tak mendatangi kantornya di rumah sakit. Ia tak merasa harus memeriksakan kondisi sarafnya lagi. Kini ia merasa jauh lebih baik.
“Sebenarnya kalau kamu rutin kontrol ke rumah sakit, mungkin akan lebih baik lagi. Karena terkadang pasien yang mengalami pendarahan saraf butuh pengobatan maksimal,” celotehnya, bersikap sewajarnya seorang dokter.
Sebelum Samara sempat membalas ucapannya, Pak Hamidjoyo sudah kembali ke ruang tamu. Beliau cepat-cepat memberitahu, “Maaf ya, Nak Samara. Tadi Bapak harus nerima telepon dari karyawan di Bali. Ada yang mau jual lukisan di Galeri Batilar.”
“Saya enggak buru-buru kok di sini, Pak. Saya bisa menunggu,” ujar Samara, selalu memberi jawaban yang singkat dan padat.
Pak Hamidjoyo lalu menatap anaknya yang tengah bersiap-siap berangkat kerja. “Suseno, kamu masih ingat anaknya mendiang Gusti Laras, toh? Ini dia… Samara Nadra.”
Suseno mengangguk. “Iya, saya ingat. Samara ini pernah jadi pasien saya, Pak.”
Beliau nampak agak terkejut. “Oalah… si Ibu pernah cerita ke Bapak waktu itu. Cuma saya sungkan mau bertanya ke Nak Samara.”
“Tahun lalu saya pingsan dan sempat cedera di kepala. Nathan bawa saya ke rumah sakit. Dan dari situ pertama kali kenal Dokter Suseno,” ujar Samara, bernostalgia.
“Syukurlah, hari ini Nak Samara masih diberikan kesehatan oleh Gusti Allah,” ujar Pak Hamidjoyo seraya mengusap lembut bahunya. “Dan tidak ada pertemuan yang kebetulan. Kalian saling mengenal sebelum Bapak kenalkan. Mungkin berjodoh, ya?”
Dokter Suseno terbatuk mendengar celetukan ayahnya. Sedangkan Samara segera melengos malu. Suasana canggung semakin bertambah ketika Pak Hamidjoyo sengaja menyinggung keduanya.