Setiap hari adalah hari baru. Hari baru yang selalu terlewati dengan adegan yang sama, berulang-ulang. Ada bahagia yang diulang, lantas tertawa. Ada sedih menyayat yang diulang, lantas menangis tersedu-sedu. Ada kemarahan yang diulang, lantas meraung-raung dan berteriak. Sayangnya, aku tak mampu melarikan diri. Tersesat, seolah berada di rimba yang tak berkesudahan. Terasing diantara ratusan orang dengan model baju yang sama, dengan warna putih yang sama, barangkali dengan kesakitan yang serupa.
Setiap cahaya fajar masuk melalui kaca jendela di lorong putih ini, di situlah aku duduk tepekur. Dua bola mata cokelatku mencari sinar yang bisa membimbingku keluar, nihil. Namun, selalu kuulangi, bodoh sekaligus gila. Kepalaku dengan rambut lurus sebahu yang telah disisir rapi, menengok kesana kemari seolah mencari pintu keluar. Ah, bukan pintu di ujung-ujung lorong ini, tentu saja aku tahu itu adalah pintu yang bisa dilewati oleh setiap raga. Aku mencari pintu untuk melarikan diri, jiwaku butuh bebas, pertarungan dalam diri yang tak usai-usai.
Bocah lelaki itu datang kembali. Dia selalu datang dengan kebodohannya, mendekatiku, dan memohon diizinkan untuk mengintip buah hatiku yang kutimang-timang hampir sepanjang hari. Dia seperti keledai dungu, meminta kenangan yang sama diputar setiap hari di hadapannya. Atau lebih tepatnya dia seperti hilang ingatan setiap kali datang menghampiriku.
Aku jengah, tapi di satu sisi aku bahagia karena dia adalah satu-satunya manusia yang tidak pernah terasa asing. Terasa seperti rumah yang hangat, terasa seperti sinar yang aku cari-cari sedari pagi tadi. Perasaan itu yang membuatku tak pernah bosan menjadi mesin waktu baginya, mengajaknya kembali pada cerita-cerita bahagia yang kerap memberi jebakan luka yang tak terobati.
“Kamu sudah datang lagi? Sudah siap jalan-jalan kembali?” pertanyaan retoris yang tak perlu dia jawab, karena diamnya adalah pertanda sebuah persetujuan.
Tangan kananku yang penuh bekas luka silet, menggenggam tangan kirinya yang memiliki bekas luka yang sama. Aku memejamkan mata, dia pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian, seperti ada sengatan listrik yang mengaliri kami berdua. Kami bersiap berangkat, terlempar jauh ke dalam masa lalu, seperti petualang mesin waktu.