Wanita dalam Pasung

Rina Anggraeni Safia
Chapter #2

Lamaran

Satu per satu kubikel melepaskan penghuninya untuk pulang. Beberapa sudut ruangan besar ini semakin lengang, lampu-lampu turut padam secara otomatis. Suara yang tersisa adalah tombol-tombol keyboard yang ditekan sangat cepat, detik jam yang terletak tepat di atas tempatku duduk, sesekali gesekan kursiku beradu dengan lantai, dan desah nafasku yang memburu ingin segera menyelesaikan konsep proyek untuk esok hari. Proyek ini akan menentukan nasib percobaanku selama 3 bulan di perusahaan multinasional ini. Tak main-main, ini akan menjadi awal karir yang cemerlang. Membayangkan raut muka bapak saja, bulu kudukku bisa merinding. Barangkali bapak akan berhutang kambing dan merayakan syukuran di rumah, membangga-banggakan anak perempuan bungsunya yang telah menjadi wanita karir di ibu kota.

Dering telepon berkali-kali tak kugubris, antara tak sempat dan tak ingin diganggu memang beda tipis. Tepat pukul 00.01, kututup laptop dan menarik napas panjang. Segera kulepas sepatu hitam dengan heels 10 cm, kedua kakiku butuh peregangan dan menjejak padatnya lantai. Kuraih sandal jepit hitam di salah satu loker mejaku, bergantian menyimpan sepatu heels satu-satunya untuk kembali kupakai esok hari.

Dering telepon berbunyi kembali, pria ini memang mengalahkan kekhawatiran bapakku. Kadang-kadang terasa seperti dimata-matai, tapi diriku yang lain mengatakan bahwa hal itu sebuah bentuk manifestasi dari cinta.

“Kamu dimana? HP tuh bukan buat hiasan meja doang,” suara di seberang telepon seperti menyimpan kecemasan dan kemarahan.

“Ups sorry. Lagi ngejar konsep branding buat besok. Nggak tau kalo ada telepon,” aku cengengesan menjawab nada suaranya yang lebih mirip harimau mau menerkam mangsanya.

“Cepat turun. Aku di depan kantormu,” nada suaranya mulai menurun. Dia memang harimau jantan yang mudah dijinakkan hanya dengan suaraku.

Segera kuraih tas ransel kanvas di kolong meja kerja, berlari menuju lift secepat yang aku bisa. Tidak ingin membuat harimau jantanku mengaum lebih keras, selain itu aura mistis ruangan ini seperti mendorongku untuk beranjak secepat kilat. Dalam hitungan beberapa menit, aku telah sampai di lobi. Di depan pintu lift yang telah menutup, kuusapkan liptin warna nude di bibir tipis yang pucat dan membenarkan rambut bob pendek yang sudah semrawut seperti sapu ijuk.

“Neng, hidup cuma sekali, jangan mau diperbudak kapitalis. Istirahat atuh,” Pak Anton, satpam jaga malam, menyapa dengan cekikikan.

“Eh, Pak Anton. Kok sama persis sama tulisan di tas saya?” aku agak kaget Pak Anton paham istilah kapitalis.

“Bapak mah memang baca tulisan di tas Neng Disa. Kali aja kan lupa,” gila, aku disindir sama Pak Anton, alus pisan.

“Hahaha demi urusan perut, lain cerita, Pak. Pulang ya, Pak Anton,” teriakku sembari berlari menuju vespa Banyu di depan lobi kantor.

Banyu menyodorkan 2 bungkus beef burger jumbo dan segelas freshmilk dingin. Aku kegirangan bukan kepalang, mencium dengan khidmat aroma gurih beef-nya hingga merem melek, membuka bungkus dan menggigitnya dengan penuh kenikmatan. Banyu tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya yang rata dan bersih ketika melihatku seperti kucing liar kelaparan. Jari jemarinya mengacak-acak rambut bobku yang sudah rapi, kemudian memasangkan helm di kepalaku.

Vespanya bergerak lambat, tak mau bertanya apa gerangan yang membuat gerak vespa melambat serupa odong-odong. Dini hari, tak ada bengkel buka, ingin segera melemparkan badan di kasur 200 x 90 cm, terbayang vespa ini akan mogok di tengah jalan jika diajak berlari super cepat seperti motor Valentino Rossi. Vespa ini sudah dianggap jimat bagi Banyu, makanya berulang kali aku merayu dan mengiba supaya kredit motor baru saja, dia kekeuh menolak. Teman Banyu mondar-mandir cari uang jaman masih kuliah, sejawat Banyu yang mendadak kuat menempuh perjalanan Bandung-Jakarta ketika Banyu mendapat panggilan wawancara untuk keesokan pagi, makcomblang Banyu dan aku, yah membahas jasa-jasa Tronton tidak akan ada habisnya bagi Banyu. Tronton ini panggilan Banyu buat vespanya, buatku agak tidak masuk akal memberikan nama untuk sebuah benda mati, bahkan namanya saja tidak mencerminkan morfologi serta anatomi vespanya sama sekali. Konon kata Banyu, nama itu disematkan kepada vespanya dengan harapan bahwa vespa itu akan sekuat dan setangguh truk tronton.

Ayam enyak mulai berkokok ketika aku menurunkan badan dari Tronton. Seolah-olah mengadu pada enyak yang mungkin masih pulas dalam selimut. Kulihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Kupeluk badan Banyu yang bau kecutnya menyeruak serampangan ke dalam sensori olfactoriku, memang sudah nasib punya tinggi sejajar sama ketek pacar. Dipeluk balik itu sama dengan menyodorkan hidung sebagai relawan pencium bau keteknya kan?

Banyu melambai sembari mendorong Tronton keluar gang. Aku mencari kunci gerbang di dalam tas, beberapa menit berlalu dan masih belum ketemu. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, seolah-olah ada seseorang yang mengawasiku. Ditambah suara satu-satunya ayam di gang padat penduduk ini, makin kencang. Ada nafas mendesah tepat di balik gerbang. Pelan-pelan kuangkat kepala, ada keraguan, tapi tubuh memaksa untuk tetap mencari tahu.

“Waaa!” kami sama-sama berteriak kencang sekali.

Lihat selengkapnya