Musim semi yang berakhir pada Mei menyisakan perih yang dalam untukku. Duduk bersandar di balik pintu kamar, aku menutup mata dalam balutan mukena. Suara ketukan yang tak henti-henti terdengar memaksa jemariku menutup telinga. Aku menekuk tubuh sambil memeluk erat kedua lutut. Pipiku basah. Jantungku berdegup tak keruan. Hatiku membujuk agar aku membuka pintu apartemen ini. Jemariku menyentuh pintu yang terbuat dari kayu, seakan meraba sosok di baliknya.
Tanpa harus mengintip dari lubang pintu, aku sudah hafal betul suara lelaki yang terus memanggil namaku. Pandanganku buram, tergenang oleh air mata. Tak kuasa menahan deru hati, aku berusaha membuka gagang pintu, tetapi jemari ini tak kuasa. Sambil bersandar, kubiarkan lelaki itu terus memanggil namaku.
“Akasma …. Aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya, Akasma ..., tolonglah …,” kata lelaki itu mengiba.
“Aku datang untuk memohon maaf darimu. Dan, membawakan sebuah janji. Percayalah, akan kutebus semua perihmu, Akasma.” Suara lelaki itu menembus pintu, sekaligus menembus hatiku.
Ah, lagi-lagi dia datang membawa janji indah. Janji yang tak akan bisa dia penuhi. Kami belum lama saling mengenal, jadi memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa dia adalah lelaki yang tak bisa memegang janji. Tetapi, hatiku telanjur sakit. Rasa sakit yang bercampur dengan rindu. Ah, betapa menyiksa! Apa boleh buat, aku terpaksa menghindarinya. Tepatnya: aku harus menghindarinya!
Ponselku yang tergeletak di atas ranjang tak henti berbunyi dan bergetar. Aku sudah tahu itu pasti dia. Pesan dan dering telepon bersahutan silih berganti. Aku beringsut ke ranjang, meraih ponsel sekadar untuk memastikan. Mataku tak bisa berpaling dari nama yang tertera di layar.
Perasaanku kepadanya bersemi pada tengah musim semi, sejak pertama aku menginjakkan kaki kembali ke negeri ini pada Maret lalu. Bulan pertama bersamanya, semua terasa seperti surga. Hatiku meleleh mengingat teduh matanya, hangat suaranya, dan rindang sosoknya. Hingga ke tepian mana aku mampu bersembunyi darimu, Sayang?
Ah! Aku kembali meneteskan air mata! Mukena yang kukenakan sudah basah, kuyup karena tangis yang tak bisa kutahan. Ya Tuhan …, aku begitu mencintai lelaki itu. Berdosakah aku bila mengikuti kata hati ini untuk selalu bersamanya? Bahkan, dalam gelap malam, dia masih berupa cahaya, Ya Rabb …. Bahkan, dalam kepedihan, bayang-bayang tentangnya selalu bisa membuatku kembali tersenyum. Aaah, betapa lemah hati ini. Betapa rapuh jiwa ini ketika nikmat cinta dunia ini Kau cabut kembali.
“Ada secelup keliru dalam sikapku kepadamu, Akasma. Aku sangat menyadari itu. Sungguh aku tak berniat untuk menyakitimu. Aku memang mengawalinya dengan cara yang salah. Tapi, aku ingin mengakhiri ini dengan sebenar-benarnya.” Lelaki itu kembali mengiba.
Ketika malam semakin larut, lelaki itu akan pergi untuk kembali lagi besok pagi. Begitu yang terjadi setiap hari.
Sebersit kerinduan membuatku ingin membalas pesannya pada malam-malam yang hening. Sesalnya tak kuragukan lagi. Kesungguhannya pun aku tahu pasti. Semua nyata, semua indah. Sudah tujuh hari dia terus mengetuk pintu apartemenku. Ratusan pesan tak berbalas, tapi dia masih selalu dalam daya. Sementara aku jatuh, semakin dalam, berharap daya cintaku kepadanya lenyap. Berharap agar luka yang dia timbulkan dapat kuobati. Perlahan. Dan, aku bisa belajar melupakan.
Hmmm …. Aku menarik napas dalam-dalam, meski dadaku tetap saja terasa sesak. Aku benar-benar merindukannya! Ah, sudahlah. Lelaki itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang aku harus melangkah maju. Kurapikan tulisan perjalanan selama di Turki. Sebagai seorang travel writer sebuah media di Jakarta, pekerjaan membawaku melanglang buana. Kali ini, pekerjaan itu membuatku terdampar di sini dan menemukannya.
Aku menutup laptop dan membiarkannya tergeletak di atas meja kerja. Lantas, kubuka laci pantry dan mengambil çay, teh khas Turki, yang pernah dia berikan pada awal pertemuan. Ah, bahkan secangkir teh menyisakan jejaknya. Mustahil bagiku untuk memulai dan mengakhiri hari di sini tanpa secangkir teh. Mustahil bagiku untuk memulai dan mengakhiri hari tanpamu.
Secangkir teh hitam dengan satu balok gula dan sepiring Turkish delight. Satu kebiasaanku selama di Jakarta adalah mencampurkan teh dan susu. Namun, di Turki itu bukan perpaduan yang biasa. Meski ada yang lebih tak biasa ketimbang campuran teh hitam dan susu, yaitu cinta! Segala pahit, manis, asam, dan getir berbaur dalam satu rasa bernama cinta.
Cinta itu tengah mengujiku. Juga melukaiku. Tak cukup mengirimkan pesan lewat ponsel, kalimat-kalimatnya yang indah kembali kutemukan dalam surel. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Aku tak bisa membencimu, tapi juga tak boleh mencintaimu ….
***
Huuufth! Ternyata aku tertidur pulas semalam. Betapa pun hatiku kalut, hidup harus terus berlanjut. Karena itu, kuputuskan untuk berkeliling Istanbul hari ini. Setelah menghabiskan beberapa menit untuk memantas pakaian, aku memilih mengenakan jilbab krem bermotif kupu-kupu, kaus santai, blazer biru polos, celana pensil, dan boots hitam. Pakaian yang kasual dan nyaman selalu membuat kepercayaan diriku meningkat. Kamera besar dan canggih milik kantor tak pernah alpa kubawa. GPS selalu berada di genggaman. Tujuanku hari ini adalah spice market yang merupakan salah satu tujuan wisata paling menarik di Istanbul. Dari apartemenku di daerah Galata, aku bergegas mencari taksi.
Tiba di spice market, orang-orang telah memenuhi tempat yang luar biasa bersih dan teratur itu. Pohon-pohon berderet dengan akar berwarna cokelat, ditanam sebagai pembatas jalan. Sambil membidik setiap sudut tempat ini dalam jepretan foto, aku menciptakan narasi yang terekam apik dalam pikiran. Setiap tempat memiliki cerita tersendiri, tugasku adalah mengabadikannya.
Kali ini aku harus mengabadikan Turki, tanah kelahiranku 25 tahun silam. Setelah pindah ke Jakarta delapan tahun lalu, ini kali pertama aku kembali ke Turki atas nama pekerjaan. Nyatanya di sini aku menghadapi hal yang lebih menguras hati dan pikiran. Tanpa kuinginkan.
“Misir çarşisi Spice Bazaar 1597–1664”. Tulisan itu terpampang di tembok bangunan tua di pintu masuk. Pasar ini dikenal juga dengan sebutan Egyptian Bazaar. Konon, nama ini diberikan lantaran pasar ini dibangun oleh Dinasti Ottoman dari Mesir.
Saat tengah menyusuri spice market, ponselku kembali bergetar. Sudah ada tujuh panggilan tak terjawab dari lelaki itu, tetapi aku memilih untuk mengabaikannya dan tetap melanjutkan liputan. Aku berjalan sambil mengambil gambar toko-toko yang berjajar rapi di lorong-lorong dengan cat dan hiasan berwarna-warni. Ada toko yang menjual rempah-rempah, madu, pashmina, Turkish delight, cendera mata, bahkan ada toko yang khusus menjual çay. Aku membeli sekotak teh bermerek Alaeddin.
Toko-toko ini dihias dengan warna-warna cerah, membuat suasana pasar terasa meriah. Belum lagi pasar ini berukuran cukup besar dan menyediakan hampir segala macam oleh-oleh khas Turki. Tak heran tempat ini menjadi destinasi favorit para turis mancanegara. Tanpa sadar, sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu di sini.
Sayup-sayup terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku melangkah mencari Masjid Rüstem Pasha yang terletak di kompleks spice market. Pintu masuk masjid itu terletak agak tersembunyi di atas barisan kios-kios. Setelah menaiki beberapa anak tangga, aku sampai di teras masjid. Subhanallah …, berada di sini membuatku teringat saat-saat terakhir bersama Ayah. Saat itu usiaku tujuh belas tahun, sehabis menemaniku berbelanja Ayah mengajakku shalat Zhuhur di masjid ini.
Aku menatap ke arah bangunan masjid. Nyaris tak ada yang berubah. Beranda yang berhiaskan lima jendela berbentuk kubah, pilar-pilar yang menyangga atap dengan lentera gantung yang dipasang rendah, dan tentu saja dinding yang penuh hiasan keramik Iznik bermotif geometris yang indah. Di kejauhan, sekawanan burung tampak hinggap di atap masjid. Benar-benar pemandangan yang magis.
Lamunanku kembali ke masa yang menyenangkan bersama Ayah di Turki. Sejak kecil, aku tinggal bersama Ayah di pusat Kota Istanbul. Sepanjang ingatanku, Ibu hampir tak pernah ada dalam kehidupan kami. Ibu kembali ke Indonesia ketika aku masih sekolah dasar dan sejak saat itu kami nyaris tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tak pernah benar-benar merasakan kasih sayang seorang ibu. Karena itu, kepergian Ayah delapan tahun lalu menyisakan perih yang berkepanjangan bagiku. Sejak Ayah tiada, aku memilih tinggal bersama Paman di Jakarta. Meski Ibu menetap di kota yang sama, kami tidak tinggal bersama. Entah kenapa, aku belum bisa menerima dan memaafkan Ibu.
Mungkin rasa rindu kepada Ayah yang membuatku jatuh cinta kepada lelaki itu. Seorang lelaki blasteran Turki-Indonesia, sama seperti diriku. Aku seperti menemukan sosok Ayah dalam dirinya, juga seperti menemukan diriku sendiri. Mungkin itu yang membuatnya istimewa.
Selesai shalat, aku melirik ponsel dan membuka beberapa pesan. Masih dari lelaki itu. Dia terus meminta maaf dengan segala cara. Hatiku bergemuruh. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Membuka hatiku kembali untuknya hanya akan membuatku terlena. Aku tak sanggup terluka untuk kali kedua.
Sekalipun kita mengulang dari awal, aku takkan pernah bisa bersanding denganmu di akhir perjalanan. Karena sejak awal, semua sudah terlambat. Dan, itu bukan salahmu, juga bukan salahku. Allah menakdirkan kita berdua untuk bertemu. Pasti ada tujuan yang belum kita tahu, desahku dalam hati.
Entah kenapa aku masih merasa hampa dan sepi. Biasanya ada dia yang menemani langkahku. Bahkan saat tak berjumpa, aku merasa dia selalu ada. Perasaanku kepadanya mencakup segala dimensi. Apakah niatku meninggalkannya juga mencakup segala dimensi?
Ya Rabb, berikan hamba ketenangan dan mantapkan hati hamba untuk sebuah pilihan yang terbaik.
***
Aku berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah. Di tengah keramaian orang yang lalu lalang, hatiku terasa sepi. Beberapa pesan singkat darinya terus masuk ke ponselku. Aku mengetikkan balasan, berharap dia berhenti mengirimkan pesan. Tapi, niat itu kuurungkan, pesan balasan itu kuhapus kembali. Air mata yang menggenang di sudut mata sekuat mungkin kutahan. Pada akhirnya, butiran bening itu mengering sendiri karena dinginnya udara di dalam kereta yang melaju kencang.
Bicaralah kepadaku, Akasma, setidaknya balas pesan ini walau hanya dengan satu huruf. Luapkan kemarahan dan kekecewaanmu. Tumpahkan semua perasaanmu. Berikan ruang pada hatimu agar bisa merasakan dengan lebih leluasa. Bernapaslah dalam-dalam agar paru-parumu terasa lega.
Begitu bunyi pesan darinya.
Pandanganku kosong, tapi perasaanku meluap ke mana-mana. Tanpa sadar, kereta sudah sampai di stasiun tujuan. Aku bergegas turun dan berjalan menuju apartemen. Selepas Isya pada awal musim panas seperti ini, langit baru mulai gelap. Hufffth, hampir saja aku melupakan niatku untuk mampir ke Galata Tower. Menara itu terletak tak begitu jauh dari apartemen, pesonanya pada malam hari kerap membiusku. Aku ingin mengambil beberapa foto di sana sebelum kembali ke Jakarta.
Kuabadikan Galata Tower dari berbagai sisi. Cahaya lampu berwarna kuning keemasan terasa riuh. Cantik sekaligus eksotis! Menara berbentuk silinder yang dibangun pada abad pertengahan itu merupakan landmark Kota Istanbul. Bagian atas menara itu digunakan sebagai restoran yang menyajikan makanan, tarian, dan musik lokal. Aku masuk dan naik ke Lantai 2. Subhanallah! Aku dapat melihat pemandangan Kota Istanbul dari atas Galata Tower. Kerlip ribuan lampu yang menyinari gelap malam membuatku terpana. Betapa agung kebesaran-Mu, Ya Rabb ….
Usai mengambil beberapa gambar, aku duduk di atas kursi kayu panjang, menikmati kopi Turki disertai suguhan tarian perut dan musik ala Persia. Semakin malam, pengunjung semakin ramai memenuhi Galata Tower. Aku memutuskan untuk pulang.
Aku merasa kurang enak badan. Entah dari mana dia tahu kondisiku, lelaki itu terus mengingatkan agar aku tak lupa menelan vitamin dan menjaga kesehatan meski pesannya tak pernah kubalas.