Wanita Pendamba Surga

Bentang Pustaka
Chapter #3

Cinta Itu ... Eksotis

“Kalp Kalbe Karsi” adalah lagu yang cukup dikenal di Turki. Alunan musik bernuansa dangdut dengan sentuhan musik India yang energik membangkitkan semangatku pagi ini. Pertemuan dengannya kemarin sore membuat mataku tak bisa terpejam hingga larut malam. Aku menyeduh secangkir kopi hitam lantas mengempaskan tubuh di sofa.

Hari ini kuputuskan untuk menikmati perjalanan dengan trem menuju Hagia Sophia dan Selat Bosphorus. Saat ini sudah masuk musim panas, membuat hatiku terasa lebih hangat. Seperti biasa, aku membawa perlengkapan liputan lengkap: EOS 7D dengan lensa L, GPS, dan iPad kalau-kalau aku perlu membuat catatan ringkas. Aku meninggalkan MacBook Pro kesayanganku di apartemen. Tiba-tiba aku teringat, Hagia Sophia adalah tempat kami bertemu kali pertama.

Aku berjalan dengan langkah ringan, kedua tangan kumasukkan ke dalam saku jaket. Terasa hangat, sehangat kebersamaan denganmu, ujarku dalam hati. Ingatan tentang pertemuan pertama itu menyusupkan decak kagum kepadanya. Sosok lelaki yang tak hanya tampan tetapi juga memiliki sikap yang menenangkan dan meneduhkan. Yah, pada pandangan pertama semua terjadi begitu saja. Dan, cerita yang terjadi pada pertemuan pertama kami kembali terbayang dalam perjalanan liputan hari ini ….

***

Bertemu di Hagia Sophia

“Merhaba.”

Terdengar suara seseorang mengucapkan “Halo” dan aku menjawab dengan sapaan yang sama. Saat itu aku tengah mengabadikan detail pada dinding Hagia Sophia, bangunan megah yang didirikan sebagai gereja, lalu dialihfungsikan menjadi masjid pada masa Dinasti Ottoman dan dikenal dengan sebutan Aya Sophia. Ketika itu, pada 1453, simbol-simbol gereja digantikan dengan ornamen-ornamen islami seperti mihrab dan kaligrafi. Pada Februari 1935, Hagia Sophia diabadikan menjadi sebuah museum.

Hari itu adalah hari kedua aku menginjakkan kaki kembali di tanah Turki. Aku masih merasakan sedikit jetlag, tetapi melihat bangunan besar yang dinding dan langit-langitnya dipenuhi kaligrafi ini membuatku tak bisa berhenti berdecak kagum. Sejak dibangun pada abad ke-6 hingga kini, Hagia Sophia selalu menjadi sebuah tempat yang menawarkan pesona dan cerita tersendiri.

“Nerelesiniz?” tanya lelaki itu ramah. Dia bertanya dari mana asalku sambil memperkenalkan diri. Namanya adalah Baris Sevelin.

“Endonezialiyim,” jawabku. Aku mengatakan bahwa aku berasal dari Indonesia sambil memperkenalkan namaku: Akasma Sevim. “Burada mi oturuyorsunuz?” Aku balik bertanya kepadanya apakah dia tinggal di sekitar sini.

“Istanbul’ ta oturuyorum.” Jawaban Baris menegaskan bahwa dia tinggal di Istanbul.

Masih tergambar jelas dalam benakku saat percakapan kami berlanjut. Obrolan semakin hangat tatkala kami mengetahui bahwa kami berdua sama-sama blasteran Indonesia dan Turki. Kalimat demi kalimat mengalir dengan lancar. Kami membicarakan hal-hal yang umum dan menghindarkan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi. Entah apa sebabnya, aku bisa merasakan bahwa Baris Sevelin bukanlah lelaki usil yang hanya ingin menggoda.

***

Suara pengunjung yang ramai membuyarkan lamunanku. Aku masih punya tugas untuk meliput Hagia Sophia secara lebih mendetail, termasuk sejarahnya dan mengambil foto-foto detail interiornya. Setelah membayar tiket wisatawan sebesar 20 lira, aku melangkahkan kaki masuk ke Hagia So­phia.

Ah!

Lalu, apa yang ingin kuhindari sebenarnya? Masa lalu, masa kini, atau masa depan? tanyaku dalam hati. Percuma saja kau berlari! Untuk apa? Toh, kau tetap harus menjalani ketiganya!

***

Ingatanku kembali berkelana. Pada sosoknya yang mengenakan kaus wol lengan panjang berwarna abu-abu dengan motif garis vertikal dan jaket hitam polos. Rambutnya ditata rapi dengan gel yang membuatnya terlihat perlente sekaligus segar. Aroma parfumnya yang maskulin meruap hangat dari pori-pori kulit. Dan, aku selalu mengagumi sorot matanya yang tajam tetapi teduh.

Hari itu aku lebih banyak diam. Saat itu, perasaanku seperti gadis belia yang tengah berkencan untuk kali pertama. Kami berjalan menyusuri Hagia Sophia, tetapi sesungguhnya kami sedang berjalan menyusuri kedalaman perasaan masing-masing. Dari balik dinding Hagia, sesekali mataku mencuri pandang ke arahnya. Dan, ternyata Baris melakukan hal yang sama. Aku menghindari tatapannya dengan berpura-pura sibuk melihat hasil foto pada kamera. Baris mengalihkan kegugupan kami dengan percakapan.

“Lihatlah, Akasma. Hagia Sophia ini dibangun kembali dengan sentuhan arsitektur Byzantium yang memesona. Membuat semua mata yang memandangnya takjub dan terbuai. Tempat ini memancarkan keindahan duniawi yang agung, Akasma. Tapi, keindahan yang agung ini akan menggugah nurani kita sebagai manusia untuk mengucap syukur atas keagungan Ilahi. Keindahan akan membuat kita lebih, lebih, dan lebih dekat lagi dengan Sang Pemilik Langit.”

Baris mengucapkan kalimat demi kalimat dengan gaya orasinya yang lugas tetapi menenteramkan. Bibirnya senantiasa menyunggingkan senyum yang menyiratkan seolah dirinya hidup tanpa beban. Hatiku berantakan dibuatnya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Ya Allah ... sebegitu lemahkah hatiku sehingga dengan mudah aku terjerat dalam pesonanya?

Hagia Sophia terasa sangat luas, tetapi kami terperangkap dalam ruang sempit yang menyekat hati kami dari dunia luar. Saat menengok ke atas, langit-langit bangunan ini begitu tinggi. Dinding dipenuhi ukiran bertuliskan Allah dan Nabi Muhammad, juga beberapa mozaik yang menggambarkan tradisi kaum Nasrani.

Sebagai bangunan dengan latar belakang sejarah yang unik, Hagia Sophia seakan menyatukan keindahan ornamen dan arsitektur kedua agama. Pada bagian atas dinding, ada celah menyerupai jendela sehingga cahaya matahari bebas masuk menerangi seisi bangunan.

“Kemarilah, Akasma.” Baris memanggilku dengan lembut sambil menuju ke salah satu sudut Hagia Sophia. “Di sinilah tersimpan peninggalan sejarah Hagia Sophia, yaitu surat-surat peninggalan zaman Byzantium ketika Hagia masih berupa gereja.”

Aku meminta tolong Baris untuk mengabadikan gambarku berlatar salah satu pilar Hagia yang megah. Ketika mengambil kamera dari tanganku, tanpa sengaja, jemari kami bersentuhan.

“Maafkan aku, Akasma,” kata Baris dengan ketenangan yang canggung. Dia segera menarik tangannya menjauh dari tanganku.

Aku diam. Darahku mengalir cepat. Apa yang terjadi? tanyaku dalam hati. Sentuhan itu terasa begitu hangat meskipun berlangsung sangat singkat. Getar cintakah yang tengah kurasakan?

Cintaku di Masjid Biru

Setelah menyelesaikan liputan di Hagia Sophia, Baris menemaniku melanjutkan perjalanan ke Masjid Biru Turki yang letaknya hanya sepelemparan batu dari Hagia Sophia. Kedua bangunan itu dibatasi oleh sebuah taman yang tak kalah memesona. Sambil berjalan santai, kami menjadi semakin akrab. Obrolan kami tak lagi canggung dan diselingi dengan canda tawa yang riang. Sekejap saja, aku merasa nyaman berada di dekatnya.

Aku mengambil beberapa foto di taman yang terletak di depan Masjid Biru. Baris menunjukkan mimik wajah yang lucu setiap kali aku mengambil gambar sekitar taman. Ah, sikap Baris terasa hangat dan menyenangkan. Caranya menggoda terasa santun dan tidak berlebihan. Bersamanya, hariku menjadi lebih berwarna. Belakangan aku tahu, kedatangannya hari itu ke Hagia Sophia sebenarnya bukan kesengajaan. Seolah-olah, pertemuan itu adalah takdir yang dirancang dengan sempurna. “Duduklah di sini, Akasma,” ajak Baris sembari menunjuk ke kursi taman yang biasa digunakan oleh pengunjung untuk duduk-duduk melihat pemandangan sekitar. Dari kursi yang berjejer panjang itu, enam menara Masjid Biru jelas terlihat.

“Betapa cantiknya kau, Akasma. Mari kuambil fotomu dengan latar menara Masjid Biru yang indah. Biru langit dan menara masjid yang keemasan akan semakin menonjolkan keanggunan pribadimu,” kata Baris.

Aku tersipu. Pipiku merona merah karena malu. Aku bukan orang yang mudah luluh pada pujian, tapi pujian Baris terasa berbeda. Terasa tulus. Menjelang sore, tanpa terasa aku dan Baris sudah menghabiskan sehari bersama. Mungkin benar bahwa waktu bersifat relatif. Saat gembira, waktu berlalu begitu cepat tanpa terasa. Demikian pula sebaliknya.

Azan ‘Ashar berkumandang. Kami shalat berjamaah di Masjid Biru. Setelahnya, kami bertemu kembali di pelataran luar masjid. Tempat itu sedang ramai pengunjung, tetapi kami seakan berada dalam dunia kami sendiri. Canda tawa kami melebur bersama. Dan, aku merasakan semangat yang berbeda ketika membayangkan bahwa perjalananku di Turki kali ini akan menjadi perjalanan yang tak terlupakan.

“Hei, Akasma … kemarilah! Coba kau ambil gambar enam menara masjid dari sini. Subhanallah, terlihat gagah dan indah luar biasa, Akasma ...,” kata Baris.

Dari sudut yang ditunjukkan Baris, keenam menara Masjid Biru terlukis sempurna dengan latar belakang warna langit. Bahkan, menara-menara itu seakan berdiri kokoh menembus langit. Pemandangan itu membuatku takjub.

Baris memang memiliki sense of art yang tajam. Dia piawai dalam musik, fotografi, bahkan fashion. Setelah mengenalnya lebih jauh, aku juga tahu bahwa suaranya ketika mengaji juga terdengar sangat merdu.

Baris mengambil gambar saf dalam masjid dengan sudut horizontal. Pola geometris pada karpet membentuk harmoni yang terlihat manis di display kamera. Masjid ini menggunakan perlengkapan dari bahan-bahan terbaik, karpet dari benang sutra dan lampu-lampu kristal. Kemegahan Masjid Biru memberikan suasana yang khusyuk sekaligus syahdu. Kebesaran Sang Pencipta terbentang nyata di depan mata.

Sambil menunjukkan gambar dari kamera, Baris menatap mataku. Dengan gugup, aku menghindari tatapannya dengan melihat lurus ke arah kamera.

Kami berdua terdiam saat melihat foto barusan. Dinding Masjid Biru tampak indah dengan kombinasi motif floral dengan motif geometris. Gambar daun, bunga tulip, mawar, dan delima, anggur, kotak, lingkaran, segi enam berjalin berkelindan menjadi kesatuan ornamen yang unik dan mengesankan.

Baris kembali menatap ke arahku. Sejenak aku malu karena hari itu aku hanya mengenakan tunik sederhana dan celana jins dan menggendong tas ransel yang membuatku sama sekali tak tampak feminin.

“Justru kesederhanaanmu yang membuatku terkesan, Akasma,” kata Baris seolah mampu membaca pikiranku. “Penampilanmu mencerminkan hatimu yang polos dan sederhana,” lanjutnya.

“Jangan memuji terlalu berlebihan, Baris. Sesungguhnya, pujian adalah kritik yang melenakan,” jawabku singkat. Sesungguhnya, jauh di lubuk hati, perasaanku berbunga-bunga dibuatnya.

Baris kembali menatap mataku. Tatapannya yang lembut serupa angin yang membelah keheningan. Aku mengalihkan pandangan pada Al-Quran bertuliskan tangan yang dipajang di salah satu sudut Masjid Biru. Aku sedang salah tingkah, tak tahu mau ke mana, tak mengerti harus bagaimana. Dalam hati, aku terus bertanya-tanya: mungkinkah secepat ini aku jatuh cinta?

“Konon menurut legenda, Sultan Ahmed meminta Mehmed Aga untuk membuat empat buah menara dari emas untuk melengkapi kemegahan Masjid Biru. Dalam bahasa Turki, emas disebut dengan altin. Mehmed Aga keliru mendengar altin sebagai alti yang berarti angka enam. Maka, dibuatlah enam buah menara yang semuanya dibuat dari emas,” Baris menjelaskan. Aku terdiam sambil bertanya dalam hati apakah legenda itu benar adanya.

Selesai berkeliling, kami beristirahat di pelataran Masjid Biru yang dirindangi pepohonan. Taman bunga yang mengitari bangunan masjid tak sedang mekar, tapi hatiku sedang megar. Sambil memandang ke arah enam menara emas, aku menyimak celotehan Baris dengan antusias.

“Mehmed Aga mengira kepalanya akan dipenggal karena telah membuat kesalahan. Alih-alih, Sultan Ahmed justru terkesima dan takjub melihat kekeliruan yang tak disengaja itu. Sejak saat itu, Masjid Biru yang sedang kita nikmati ini menjadi masjid terbesar dan terindah di Turki. Subhanallah .…”

Aku masih terdiam. Ketika aroma parfum Baris tertiup angin dan sejenak melewati indra penciumanku, hatiku bergetar. Aku terus-menerus beristigfar.

Matahari mulai terbenam menjelang magrib. Hampir separuh hari kami lewatkan bersama dan aku tak kunjung bosan. Aku sengaja mengulur waktu di tempat ini sambil menikmati pemandangan menara Masjid Biru saat matahari terbenam. Mungkin juga karena aku ingin melewatkan waktu bersamanya lebih lama.

Turki pada musim semi ditingkahi oleh bunga tulip yang mekar dan udara yang hangat. Di dekatnya, hatiku terasa semakin hangat. Aku mencoba sekuat hati untuk menenangkan perasaanku sendiri. Mengapa secepat ini perasaan itu berkecambah? Ah, Baris. Suaramu mengingatkanku pada almarhum Ayah. Begitu pula caramu berbicara. Padamu terkandung wibawa dan karisma yang tak terelakkan.

Azan Maghrib mengalun. Seusai shalat, kuputuskan untuk pulang ke apartemen. Entah bagaimana, aku membiarkan Baris mengantarku sampai ke lobi. Kami bertukar senyum dan nomor telepon. Semua menjelma nyata. Kami telah saling menaruh hati, hanya dalam sehari.

Tatli ruyalar, Akasma,” ucapnya saat melepasku. Have a nice dream. Lantas tubuhnya menghilang di balik pintu.

***

Musik adalah bagian diriku. Baris sudah hafal benar bahwa setiap kali menulis hasil liputan, aku harus mendengarkan musik. Mungkin itu sebabnya dia memberikan sebuah CD kompilasi berisi 10 lagu pilihan ala Turki. Dua di antaranya adalah penyanyi favoritku: Asli Güngör, yang menyanyikan “Son Opucuk”, dan Mustafa Ceceli. Pagi ini aku menikmati alunan lagu-lagu itu sambil merapikan laporan perjalananku ke Selat Bosphorus untuk majalah travelling tempatku bekerja. Secangkir teh dan sandwich sederhana yang kubuat sendiri di pantry ikut meramaikan pagi ini.

Artikel tentang Bosphorus sudah pasti membuatku teringat kembali pada kenangan bersama Baris. Masa-masa indah itu, sebelum aku merasa tersakiti. Meski semua itu semu, bukan berarti kenangan dan rasa sakit itu dapat dengan mudah dihapus waktu.

Merakit Cinta di Bosphorus

Gunaydin, Akasma.” Baris mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Turki.

Sapaan khas dibarengi senyum hangat itu sudah menunggu ketika aku melangkah keluar. Cuaca tampak cukup bersahabat pagi ini.

Aku tersenyum. Sudah kuduga Baris akan datang pagi ini dan pagi-pagi berikutnya. Ketika dia menawarkan diri untuk menemani perjalananku keliling Turki, aku menolak dengan halus. Bukan tak ingin, aku hanya tak mau merepotkannya. Meski begitu, hati kecilku berdecak bahagia mendengar tawarannya. Tentu sedikit banyak aku sudah menduga bahwa Baris sungguh-sungguh ingin menemaniku. Makanya aku tak terlalu terkejut melihatnya sudah duduk manis di lobi apartemen pagi ini.

Lihat selengkapnya