Pernikahan Furqon dan Anna merupakan kebahagiaan bagi mereka dan keluarganya, namun tidak bagi Laila. Hatinya semakin hancur ketika malam pernikahan itu dilangsungkan. Tangisannya semakin pilu. Bagaikan disambar petir, jiwanya menjadi rapuh dan tidak berdaya. Di dalam kamar ia menangis sejadi-jadinya. Hijab yang menutupi kepalanya, pun dilepasnya. Seakan keimanannya telah goyah. Air matanya berderaian. sementara sang ibu tidak sanggup berbuat apa pun. Laila mengurung diri di kamarnya sendirian. Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaan sang ibu yang di luar sana sedang mengkhawatirkan keadaaannya.
*****
Setelah prosesi akad nikah selesai, maka acara pun dilanjutkan dengan resepsi di kediaman keluarga Pak Rahmad. Mereka semua nampak bersuka cita, bahagia dengan pernikahan Furqon dan Anna. Namun entah apa yang ada di dalam pikiran Anna dan Furqon. Di pelaminan, mereka nampak duduk agak berjauhan. Sepertinya mereka masih canggung jika harus duduk berdekatan apalagi harus menempel. Sesekali Furqon melempar pandang kepada istrinya. Dalam benaknya ada pemikiran tentang Anna.
"Kenapa Dik Anna seperti menjauhiku? Bukankah selepas akad nikah tadi Dik Anna mau menggantungkan tangannya di lenganku?"
Pikiran itu terhempas, ketika Anna tanpa sengaja menatap balik wajah suaminya itu. Maka Furqon pun segera mengalihkan pandangannya jauh ke arah para tamu undangan setelah menyadari bahwa Anna sedang memandangnya. Dibenak Anna pun tumbuh pemikiran mengenai Furqon, sambil sesekali ia menganggukkan kepalanya pertanda ramah tamah dengan para tamu undangan.
"Mengapa Ustadz Furqon memandangku seperti itu? Apa yang sedang beliau pikirkan tentangku?"
Tiba-tiba saja datang Fatimah menghampiri mereka berdua dipelaminan. Fatimah pun duduk ditengah-tengah diantara Furqon dan Anna. Terpancar ada kebahagiaan dari wajah Fatimah melalui senyumannya yang penuh makna indah itu. Gadis kecil itu kini sudah menjadi putri Furqon dan Anna. Dipandanginya mata Anna yang indah itu oleh Fatimah. Ia pun melempar senyumnya kepada Anna. Anna yang melihat perilaku Fatimah pun menjadi heran dan bertanya-tanya.
"Kamu kenapa senyum-senyum begitu, Nak?" tanya Anna seraya mengangkat dagu Fatimah dengan satu jari telunjuknya.
"Ummi cantik." jawab Fatimah singkat seraya tersenyum dan terus memandangi wajah Anna yang tertutup dengan kain niqab itu.
Furqon yang mendengar ucapan Fatimah, seketika itu berbisik di telinga Fatimah untuk melayangkan sebuah pertanyaan kepada Fatimah namun Anna masih mendengarnya.
"Berarti, Abi ndak salah memilih kan, Fatimah?" tanya Furqon seraya memandang ke arah Anna.
Sungguh, pertanyaan Furqon itu membuat Anna merasa Furqon sedang menggodanya. Ia pun tertunduk malu tidak berani membalas pandangan suaminya. Ada rasa berdebar dalam jantung Anna. Ia senang dengan ucapan Furqon yang baru saja didengarnya. Tapi, rasa malu itu tetap masih ada dalam dirinya. Anna berusaha mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Demikian pula dengan Furqon, ia merasa menjadi bodoh. Kenapa ia harus berkata seperti itu. Ia tahu Anna kini sedang merasa malu kepadanya. Perasaannya pun sama seperti Anna. Malu, canggung, dan ia merasa seperti bersalah telah berucap yang membuat Anna malu dan mengalihkan pandangan darinya. Fatimah yang menyadari kedua orang tuanya ini sedang merasa canggung, maka ia pun berinisiatif untuk menyatukan tangan kedua insan itu dipangkuannya.
"Nah … kalau begini kan enak dilihatnya!" ucap Fatimah seraya tersenyum kepada keduanya setelah merekatkan kedua tangan pengantin baru tersebut.
Sungguh ini di luar dugaan Furqon dan Anna. Mereka terkejut dengan ulah putri mereka itu. Perasan keduanya makin tidak karuan, ini adalah kedua kalinya mereka bersentuhan tangan setelah akad nikah tadi. Dan rasanya pun masih sama, bahagia, malu, dan canggung.
Tiba-tiba, datang Fauzan dan Amira menghampiri mereka di pelaminan. Sontak mereka pun lekas melepas pegangan tangan tersebut. Nampaknya Fauzan melihat kejadian tersebut. Fauzan sedikit tergelitik untuk menggoda adiknya itu.
"Sudah, An ... Ndak usah malu, kan sudah sah." gurau Fauzan.
"Apaan sih, Mas." jawab Anna mencoba menepis ejekan dari Fauzan.
Padahal sejujurnya Anna merasa malu kepada sang kakak. Amira tahu betul akan ekspresi mata adik iparnya. Maka ia pun melarang suaminya menggoda adiknya lagi.
"Sudah, Bi, jangan begitu! Jangan bikin Anna merasa malu!" ucap Amira seraya tersenyum.
"Iya ... iya ... Maaf, Mas hanya bercanda." ucap Fauzan seraya menepuk-nepuk bahu Anna.
"Maafkan Masmu ya, An, Kiyai Furqon, kalau bercanda suka keterlaluan." tambah Amira seraya melempar senyum kepada kedua adik iparnya itu.
"Ndak apa-apa kok, Mbak. Bukankah membuat orang bahagia itu juga merupakan suatu bentuk ibadah." ucap Furqon seraya tertawa kecil.
"Kiyai Furqon bisa saja." ucap Fauzan seraya tertawa.
Mendengar Fauzan dan Amira memanggilnya dengan sebutan "Kiyai", membuat Furqon merasa keberatan. Karena ia merasa tidak seharusnya mereka menyebutnya seperti itu.
"Mas, Mbak, saya mohon jangan panggil saya dengan sebutan Kiyai, ya! Panggil saja saya Furqon, biar kita bisa lebih akrab."
"Baiklah, Furqon." jawab Fauzan seraya mengikuti keinginan adik iparnya itu.
Fauzan lekas memeluk adik iparnya itu. Furqon pun membalas pelukan kakak iparnya dengan erat. Sepertinya Fauzan ingin menitipkan pesan kepada Furqon. Dalam pelukannya, Fauzan mengatakan sesuatu kepada Furqon. Dan Furqon pun mendengarkan nasihat serta pesan dari Fauzan dengan baik.
"Aku percayakan Anna kepadamu. Bimbinglah ia untuk menjadi wanita yang jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Jaga dan lindungi dia, karena sudah sejak kecil ia terbiasa hanya berlindung kepada Allah tanpa orang lain berada disisinya."
Sementara Anna dan Amira mendengarkan perbincangan kedua pria tampan ini.
"Baik, Mas, insyaaAllah saya akan menunaikan semua nasihat dan pesan yang sudah Mas Fauzan sampaikan kepada saya." jawab Furqon dengan yakin seraya tersenyum dan menggenggam tangan istrinya dengan erat.
Sungguh, lagi-lagi Furqon telah membuat jantung Anna berdegup sangat kencang. Seumur hidupnya baru kali ini tangannya digenggam oleh sosok laki-laki yang bukan ayahnya ataupun saudaranya. Sentuhan tangan itu begitu hangat dan membuat Anna merasa sangat nyaman berada dalam genggamannya.
"Tak peduli sejauh apapun jarak merenggangkan, genggaman tangan ini insyaa Allah takkan pernah terpisahkan," batin Anna.
Anna terus pandangi genggaman tangan itu. Sungguh, ini adalah sesuatu yang sangat indah, melebihi dari keindahan yang pernah Anna rasakan sebelumnya. Di sebalik kain niqab itu, ada senyum yang tersembunyi dan tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya. Seketika genggaman tangan itu dilepaskan oleh Furqon saat ada serombongan tamu undangan yang akan berpamitan meninggalkan resepsi mereka. Sementara Fauzan, Amira, dan Fatimah lekas turun dari atas pelaminan. Furqon dan Anna tampak bahagia atas kehadiran para tamu undangan yang telah memberikan doa dan restu kepada mereka berdua.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Tamu undangan yang hadir, pun lumayan banyak. Tidak jarang beberapa diantara mereka ada yang minta berfoto bersama dengan pasangan pengantin ini. Hingga pada akhirnya, ada sebuah kejadian. Tanpa disadari oleh Furqon, ternyata wajah di balik niqab itu sudah pucat. Anna merasa tubuhnya mulai lemas. Keringat dingin keluar dari setiap pori-porinya. Kepalanya mulai terasa pusing, sesekali ia memegangi kepalanya itu. Pandangannya mulai buram, menjadi tidak jelas. Perlahan Anna mulai memegangi lengan suaminya. Dan akhirnya Anna pun jatuh pingsan. Furqon dengan sigap menangkap tubuh istrinya. Semua tamu dan anggota keluarga pun menjadi panik.
Furqon segera memapah tubuh Anna, dan membawanya turun dari pelaminan. Furqon terlihat amat sangat gelisah. Ia takut terjadi sesuatu kepada wanita yang baru saja dinikahinya itu. Ya ... seharian ini Anna telah berpuasa, dan saat berbuka tadi hanya minum segelas air putih tanpa ada asupan makanan masuk ke dalam tubuhnya. Hingga akhirnya Anna tidak mampu lagi untuk bertahan di pelaminan. Furqon memapah wanita yang dicintainya itu dengan berlari. Diikuti oleh anggota keluarga yang lain.
Amira meminta Furqon membawa Anna masuk ke dalam kamar Anna sendiri, yaitu kamar pengantin. Direbahkannya tubuh Anna di atas ranjang. Amira, Ibu Aisyah, dan Hanna mengikuti mereka berdua. Ibu Aisyah duduk tepat disebelah tubuh Anna. Ia usap-usap telapak tangan Anna yang dingin itu. Sementara Hanna segera pergi ke dapur membuatkan teh Hangat untuk Anna. Amira sibuk mencari-cari minyak angin guna untuk menyadarkan Anna. Sementara Furqon, ia merasa belum seharusnya dia memasuki kamar Anna tanpa izin dari pemilik kamar tersebut. Ia memutuskan untuk keluar dari dalam kamar, membiarkan Ibu Aisyah dan Amira yang mengurus Anna.
Setelah minyak angin ditemukan oleh Amira, maka Amira pun segera membuka kain niqab yang masih menutupi sebagian wajah Anna. Ia buka botol minyak angin itu, dan ia dekatkan ke lubang hidung Anna. Berkat Aroma minyak angin tersebut, Anna pun siuman.