Wanitaku Anitaku

Dewangga Putra
Chapter #2

BAGIAN 2 - WANITA BERNAMA ANITA

Memasuki tahun ajaran baru, tahun ketiga kuliah kami, seolah-olah hidupku terjebak dalam siklus yang tak pernah benar-benar berubah. Segalanya terasa stagnan, seakan rutinitas yang sama terus berulang tanpa memberikan ruang untuk sesuatu yang baru. Hari-hari berlalu dengan lambat, seakan setiap detik ditentukan oleh pola yang monoton—kuliah, tugas, dan waktu-waktu yang dihabiskan bersama teman-teman, semuanya terasa seperti sebuah mesin yang tidak pernah berhenti.

Sementara itu, di kampus, suasana terasa berbeda. Adik-adik angkatan baru telah mulai berdatangan, memasuki gerbang fakultas dengan semangat yang menggelora dan energi yang memancar dari setiap langkah mereka. Mereka memulai kegiatan pengenalan lingkungan dengan antusiasme yang menyala, mata mereka berbinar dengan rasa ingin tahu dan harapan yang tinggi. Melihat mereka, aku tidak bisa tidak merasa seolah-olah aku sedang melihat pantulan dari masa lalu—sebuah periode ketika aku juga pernah merasakan kebangkitan semangat yang sama, sebelum rutinitas ini melumatkan rasa petualangan.

Para junior ini adalah simbol dari awal yang baru, sebuah pembuka babak baru dalam perjalanan mereka. Mereka menghadapi segala sesuatu dengan kegembiraan dan optimisme, sementara aku merasa seolah terjebak dalam lingkaran yang sama—dalam rutinitas yang tidak pernah benar-benar bergeser dari tempatnya. Setiap kali aku melintasi mereka, tawa mereka dan langkah-langkah ceria mereka seakan menggarisbawahi ketegangan yang ada dalam diriku.

Aku merasa seperti saksi dalam sebuah drama, di mana perananku adalah karakter yang tidak mengalami perkembangan. Dalam lautan wajah-wajah baru dan suara-suara ceria, aku merindukan sentuhan dari sesuatu yang segar dan berbeda—sesuatu yang mampu mengguncang rutinitas dan mengembalikan rasa antusiasme yang dulu pernah ada. Di tengah arus kehidupan yang tampaknya tak bergerak, aku mencari cara untuk menemukan kembali semangat dan keinginan yang sepertinya perlahan-lahan memudar dalam hiruk-pikuk hari-hari yang berlalu.

Wawan, Priam, dan Bahar seolah terlahir kembali dengan semangat yang membara saat tahun ajaran baru dimulai. Mereka bukan hanya bersemangat untuk kembali ke kampus dan bertemu dengan teman-teman lama yang telah lama mereka rindukan, tetapi mereka juga memiliki rencana untuk menyambut kedatangan para mahasiswa baru dengan antusiasme yang menular. Mereka berbicara dengan penuh gairah tentang mencari "bibit-bibit" baru—mencermati wajah-wajah segar yang memasuki dunia kampus, seolah-olah mereka sedang berburu harta karun yang tersembunyi di antara kerumunan.

Bagiku, melihat antusiasme mereka terasa seperti melawan arus. Di tengah semangat mereka yang memuncak, aku merasa seperti pengamat yang terasing dalam adegan ini. Kegiatan seperti ini tampak seperti rutinitas yang sama, berulang setiap tahun dengan pola yang tak pernah berubah. Aku menyaksikan mereka dengan rasa asing, tanpa merasakan getaran semangat yang menyala-nyala seperti yang mereka tunjukkan.

Rasa antusiasme mereka, yang tampak seperti gelombang baru yang mengangkat semangat mereka, membuatku merasa terjebak dalam lautan monoton. Sementara mereka merencanakan cara untuk menyapa dan menjalin hubungan baru, aku merasa seperti seorang pengembara yang berjalan di jalan yang sama, tanpa ada dorongan baru yang membuatku ingin melangkah lebih jauh. Mereka begitu terfokus pada kesempatan baru dan potensi yang ada di depan mata, sementara aku hanya bisa menyaksikan dari pinggir jalan, tanpa bisa menemukan kembali api yang pernah membuatku bersemangat.

Dalam kebersamaan mereka, ada sebuah energi yang melawan kebosanan dan stagnasi yang kurasakan. Aku mencoba untuk ikut merasakan semangat mereka, namun rasanya seperti menempel pada sesuatu yang sudah kehilangan daya tariknya. Sementara mereka melangkah dengan penuh keyakinan menuju petualangan baru, aku hanya bisa berharap menemukan kembali dorongan yang pernah membakar semangatku, agar aku juga bisa merasakan kegembiraan dan antusiasme yang mereka miliki.

Pagi itu, Wawan meneleponku dengan suara yang penuh semangat, seakan energi dan antusiasme tidak bisa tertahan lagi. Suaranya ceria, penuh dengan getaran kegembiraan yang menular. "Dewo, ayo ke kampus! Kita harus lihat adik-adik angkatan baru. Siapa tahu ada yang menarik," ujarnya dengan nada yang membuatku bisa merasakan getaran semangatnya meski hanya melalui telepon.

Namun, saat telepon itu berdering, aku masih terjebak dalam selimut hangat di kamar, suasana pagi terasa membosankan dan rutinitas yang sama menghimpit. Dengan nada malas dan penuh rasa enggan, aku menjawab, "Ah, aku masih di rumah. Lagi malas keluar. Lagipula, ada PlayStation yang lebih seru." Suaraku tidak mampu menyembunyikan betapa enggannya aku untuk meninggalkan zona nyaman ini, di mana segala sesuatu terasa mudah dan familiar.

Wawan mungkin tidak menyadari betapa beratnya aku menghadapi panggilan itu. Di mata Wawan, dunia kampus adalah panggung penuh warna dan peluang, sementara bagiku, semua itu tampak seperti skenario yang sudah terlalu sering dimainkan. PlayStation yang tergeletak di sampingku menawarkan pelarian dari kebosanan, dunia yang penuh dengan tantangan virtual dan hiburan yang membuatku enggan melangkah keluar.

Saat mendengar suaranya yang penuh semangat itu, aku merasakan perbedaan tajam antara antusiasme Wawan dan ketidakpedulianku yang hampir teramat dalam. Aku terjebak dalam kemalasan dan rasa puas dengan rutinitas yang sudah ada, sementara Wawan melompat ke arah sesuatu yang baru, mencari pengalaman yang mungkin bisa mengubah suasana hati dan membangkitkan semangat.

Aku tahu, di luar sana, kesempatan dan pengalaman baru menunggu, tetapi di sini, di dalam dunia yang kukenal, aku merasa nyaman meski monoton. Dalam keraguan dan kenyamanan ini, aku menyadari betapa berbedanya pandanganku dengan semangat Wawan—sebuah jarak yang semakin lebar antara keinginan untuk tetap dalam kenyamanan dan dorongan untuk menjelajahi hal-hal baru.

Sementara Wawan, Priam, dan Bahar melangkah dengan semangat yang membara, siap menyambut hari baru dengan antusiasme yang hampir menular, aku memilih untuk tetap berada di kamar. Di sini, di dalam dunia kecilku yang nyaman, segala sesuatu terasa aman dan tidak memaksa. Aku bersantai di tempat tidur, merasakan kehangatan selimut yang membungkusku, dan menyandarkan punggung ke bantal empuk yang mengundang relaksasi.

Sementara mereka bersemangat menjelajahi kampus, aku duduk di sudut tempat tidur, sesekali memainkan PlayStation dengan tampilan layar yang cerah dan penuh warna. Setiap tombol yang kupencet seolah membawa aku ke dunia lain, di mana tantangan virtual menggantikan rutinitas nyata yang terasa membosankan. Permainan ini menjadi pelarian dari monoton yang mengikatku, menawarkan sensasi dan hiburan yang membuatku enggan untuk melangkah keluar dari zona nyamanku.

Mungkin inilah caraku untuk melarikan diri dari segala sesuatu yang terasa menjemukan, dari rutinitas yang terus berulang tanpa akhir, dan dari ekspektasi yang mengintai di luar kamar ini. Aku menghindari segala hal yang bisa mengguncang kenyamananku, segala hal yang bisa memaksa aku untuk menghadapi ketidakpastian dan tantangan yang mungkin membebani. Dalam keheningan kamar ini, aku merasa terlindungi dari dunia luar yang seolah memanggil-manggil dengan janji petualangan dan pengalaman baru.

Ketika bayangan suara tawa dan percakapan ceria dari teman-temanku semakin menjauh, aku terjebak dalam rasa nyaman yang kian membuatku enggan untuk bergerak. Di sini, di tempat tidurku, aku merasakan kepuasan dan keengganan yang bercampur—rasa puas dengan apa yang ada dan ketakutan akan hal-hal baru yang bisa merubah cara pandangku. Ini adalah dunia yang kukenal dengan baik, dan aku memilih untuk menyelam lebih dalam ke dalamnya, daripada menghadapi dunia luar yang penuh dengan kemungkinan dan ketidakpastian.

Di tengah permainan yang mengasyikkan, aku merasa terjebak dalam dilema yang memecah konsentrasi. Setiap kali jari-jariku menekan tombol PlayStation, aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku yang terus menggigit tentang apa yang sebenarnya terjadi di kampus. Apa benar adik-adik angkatan baru ini membawa energi dan semangat seperti yang dijanjikan oleh Wawan, Priam, dan Bahar? Apakah mereka benar-benar se-"menggembirakan" yang mereka harapkan? Pertanyaan-pertanyaan ini bergema di dalam pikiranku, mengusik ketenangan yang kudapat dari permainan.

Namun, meskipun rasa ingin tahuku semakin menggelitik, rasa malas dan kebiasaan lama membungkam doronganku untuk melangkah keluar. Setiap detik yang berlalu seolah memperkuat kebiasaan untuk tetap di zona nyaman ini, membiarkan aku tenggelam dalam dunia virtual yang menjanjikan kesenangan tanpa harus menghadapi realitas yang mungkin mengecewakan. Aku membiarkan Wawan dan teman-teman menikmati hari mereka dengan cara mereka sendiri, meski aku tahu mereka mungkin mengalami sesuatu yang benar-benar berbeda dari apa yang kuketahui.

Aku terperangkap dalam lingkaran kenyamanan dan keengganan, membiarkan ketidakpastian di luar pintu kamar ini menjadi beban mental yang terlalu berat untuk diangkat. Rasa penasaran yang mengusik hanya menambah kedalaman ketidakpastian yang kutinggal di luar sana. Sementara mereka menjalani petualangan mereka di kampus, aku terjebak dalam rutinitas lama yang mungkin terlalu familiar, namun cukup nyaman untuk membuatku enggan melangkah keluar. Di sini, dalam kehangatan kamar dan layar yang bersinar, aku memilih untuk bertahan, meski rasa ingin tahuku tak berhenti menggugah pikiranku.

Kadang, aku bertanya-tanya dalam keheningan malam yang menyelimuti kamar ini, apakah ini benar-benar cara hidupku yang akan terus berlanjut. Apakah aku terjebak dalam sebuah siklus tanpa akhir, terikat pada rutinitas yang sama, hari demi hari, seakan tidak ada perubahan yang berarti? Pikiran ini sering kali menghantui benakku, seperti bayangan gelap yang melayang di tepi kesadaranku.

Setiap hari, aku merasa seolah terjebak dalam lingkaran waktu yang tak pernah berhenti, di mana setiap hari tampak seperti cerminan dari yang sebelumnya. Rutinitas yang monoton ini, dengan segala kesamaannya, mengikatku dalam jaring yang tak terlihat, membuatku meragukan apakah ada jalan keluar dari siklus ini. Seberapa lama aku bisa bertahan dalam kebosanan ini, sebelum akhirnya semua terasa begitu hampa dan tidak berarti?

Namun, dalam keputusasaan ini, aku berusaha untuk menemukan secercah kebahagiaan dalam momen-momen sederhana di kamarku. Aku menciptakan kenyamanan dalam hal-hal kecil yang kuanggap penting—sebuah buku yang ku baca, secangkir kopi di pagi hari, atau bahkan kesenangan yang kudapat dari bermain PlayStation. Di tengah rutinitas yang terasa kaku dan tak berubah, aku mencari cara untuk membuat setiap hari terasa sedikit lebih berarti.

Aku merenung dalam keheningan kamar, mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal kecil yang memberikan rasa puas. Aku tahu bahwa mungkin aku tidak dapat mengubah siklus hidupku dalam sekejap, tetapi aku masih memiliki kekuatan untuk menciptakan kebahagiaan dalam batas-batas yang ada. Dalam pencarian ini, aku mencoba menemukan arti di balik setiap detik yang berlalu, meski kadang terasa seperti perjalanan tanpa arah yang jelas.

Selang beberapa jam, saat aku tenggelam dalam dunia virtual PlayStation yang penuh warna dan tantangan, tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponselku, memecahkan konsentrasi dan mengusik keseruan yang tengah kurasakan. Suara dering ponsel terdengar seolah menggaung di tengah kebisingan permainan, seakan menjadi panggilan dari dunia nyata yang tak bisa kuabaikan.

Dengan nada malas, aku meraih ponsel yang tergeletak di sampingku, menggeser layar dengan enggan. Nama Wawan terpampang di layar, dan walau aku tahu itu adalah pesan yang mungkin mengganggu kenyamanan permainan, ada sesuatu dalam nada pesannya yang membuatku merasa harus membacanya. Pesan itu singkat, namun memancarkan semangat yang kuat dan menular, seperti kilatan energi yang tiba-tiba melintasi ruang dan waktu.

Saat aku membuka pesan itu, kata-kata Wawan seakan melompat keluar dari layar, mengisi ruang kamar dengan rasa ingin tahu dan dorongan yang tak terduga. Meski dalam keadaan santai dan nyaman, semangat dalam pesannya memecahkan kebekuan yang kurasakan. Kalimat-kalimat singkat namun penuh gairah itu menarik perhatian dan membuatku terhenti sejenak dari permainan.

Dalam sekejap, kesenangan yang kudapat dari permainan terasa pudar, digantikan oleh rasa penasaran dan kegembiraan yang mendalam. Pesan Wawan adalah pengingat bahwa dunia di luar kamar ini, dengan semua petualangan dan kemungkinan, masih menunggu untuk dijelajahi. Aku terjebak dalam dilema antara tetap di zona nyaman atau merespons panggilan yang datang dari luar, yang tiba-tiba memunculkan rasa yang mengusik kebosanan dan memberikan harapan baru.

Pesanku terbuka, dan kata-kata dari Wawan muncul di layar dengan kecepatan yang memecah ketenangan kamarku. "Aku baru saja bertemu seseorang yang luar biasa!" tulis Wawan. Setiap huruf terasa penuh dengan semangat dan antusiasme yang melompat keluar dari teks. Aku membacanya dengan saksama, seolah pesan itu adalah petunjuk penting dalam labirin kebosanan yang kuciptakan untuk diriku sendiri.

“Aku baru saja bertemu seseorang yang luar biasa!” tulis Wawan. “Namanya Anita. Dia benar-benar membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.” Kalimat itu seperti lonceng yang membangunkan aku dari lamunanku, membangkitkan rasa ingin tahuku tentang sosok yang baru saja mengubah cara pandang Wawan dalam sekejap.

Aku membayangkan ekspresi wajahnya saat menulis pesan itu, penuh dengan kekaguman dan euforia. Seolah-olah Anita adalah bintang yang tiba-tiba muncul di langit malam yang gelap, menyinari segala sesuatunya dengan cahaya yang belum pernah terlihat sebelumnya. Wawan tidak hanya berbicara tentang seseorang, tetapi tentang momen magis yang seakan menegaskan kekuatan cinta pada pandangan pertama.

Pesan itu membuatku terhenyak, menempatkan segala kebiasaan dan rutinitas sehari-hari dalam perspektif baru. Ada sesuatu yang mendalam dalam cara Wawan berbicara tentang Anita—sebuah perasaan yang mungkin belum pernah kurasakan, atau mungkin sedang kucari di antara hari-hari yang monoton ini. Kegembiraan dan energi dalam pesan Wawan seolah menjalar kepadaku, memaksa aku untuk merenung dan membayangkan kemungkinan yang ada di luar sana.

Di tengah hiruk-pikuk permainan yang semula kukira akan memberi semua jawaban, pesan ini menjadi momen yang menggugah kesadaranku. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas dan kebosanan, sesuatu yang mampu menyentuh hati dan mengubah cara pandang hidupku—seperti yang dialami Wawan dengan Anita.

Wawan melanjutkan ceritanya dengan detail yang menggugah rasa ingin tahuku, seolah-olah setiap kata yang diketiknya adalah cermin dari kekaguman yang mendalam. "Kau tidak akan percaya bagaimana Anita tampak di hadapanku," tulisnya. "Seolah-olah dia adalah seorang bintang dari dunia lain, yang tiba-tiba muncul di tengah kehidupan sehari-hariku."

Dalam setiap kalimat, aku dapat merasakan semangatnya yang memancar melalui layar ponselku. Dia menggambarkan Anita dengan kata-kata yang penuh warna dan emosi, membuatku merasa seolah-olah aku bisa melihat sosoknya tanpa harus bertemu langsung. “Kulitnya,” tulis Wawan, “bersih dan bersinar seperti sinar matahari pagi yang lembut. Ada sesuatu dalam kecantikan alaminya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata—sebuah pesona yang seakan melebihi batasan dunia yang kita kenal.”

Dia melanjutkan, “Mata Anita penuh dengan kecerdasan dan kehangatan, seolah-olah mereka menyimpan ribuan cerita yang belum terungkap. Ketika dia menatap, aku merasa seolah-olah aku bisa melihat ke dalam jiwanya, menembus semua lapisan permukaan dan menyentuh inti dari siapa dia sebenarnya.”

Setiap detail yang Wawan sampaikan terasa begitu hidup, seolah Anita berdiri di hadapanku, meskipun hanya melalui teks di layar ponselku. “Dan senyumnya,” tulisnya dengan antusiasme yang tak tertahan, “adalah sesuatu yang benar-benar luar biasa. Saat dia tersenyum, rasanya seperti seluruh ruangan diterangi oleh cahaya yang lembut dan hangat. Senyum itu bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi tentang sesuatu yang lebih dalam—sebuah energi yang mampu mengubah suasana hati dalam sekejap.”

Wawan tampaknya terjebak dalam keajaiban ini, dan setiap kata yang dia tuliskan terasa seperti pembukaan dari sebuah dunia baru, penuh dengan kemungkinan dan keajaiban. Aku bisa merasakan betapa mendalamnya perasaannya, dan meskipun aku hanya membaca teks, aku merasa seolah-olah Anita adalah bagian dari kisah yang tengah berlangsung, sebuah kisah yang mungkin akan mengubah segalanya bagi Wawan—dan mungkin, memengaruhi cara pandangku tentang cinta dan keajaiban di dunia ini.

“Dia punya cara berbicara yang lembut dan penuh percaya diri,” tulis Wawan, dan kata-katanya hampir bergetar dalam ketegangan emosional yang kurasakan melalui teks. “Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti sentuhan lembut di hati, memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan. Saat dia berbicara, ada kekuatan dalam nada suaranya yang tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga mengisi ruangan dengan aura yang menenangkan.”

Lihat selengkapnya