Wanitaku Anitaku

Dewangga Putra
Chapter #4

BAGIAN 4 - REALITA SEMATA

Setelah kejadian itu, aku pulang ke rumah dengan perasaan yang saling bertubrukan—sebuah campur aduk antara duka dan keputusasaan. Di kamarku yang sunyi, suasana terasa menekan, seakan ruangan itu sendiri mengerti beratnya beban yang ku bawa. Aku duduk di tepi tempat tidur, tubuhku terasa lelah dan hatiku hancur, memandangi layar HP yang seakan menjadi jendela menuju kegelapan yang sedang melanda sahabatku.

Layar ponselku menampilkan status-status galau Wawan di Facebook, yang kini dipenuhi dengan curahan hati yang mendalam. Setiap baris yang terbaca adalah cermin dari kepedihan yang tak tertandingi, seolah setiap kata adalah teriakan jiwa yang tertekan. Ia menuliskan tentang rasa patah hati yang begitu mendalam, hasil dari penolakan serius oleh Anita yang seakan menorehkan luka yang tak terhingga.

Kata-kata dalam statusnya mengalir seperti aliran air mata yang tak pernah berhenti, mencerminkan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Aku bisa merasakan setiap keping rasa sakitnya, seolah aku turut merasakan setiap denyut perasaan yang mengoyak hatinya. Keberadaan status-status itu di layar HP seolah menjadi saksi bisu dari kehancuran yang tengah menimpanya, sebuah pemandangan yang mencerminkan betapa beratnya rasa sakit yang harus dia hadapi.

Dalam keheningan kamarku yang menyelimuti, aku hanya bisa menatap layar dengan penuh kepedihan, merasakan bagaimana setiap kata Wawan seakan merobek hati ini lebih dalam lagi. Setiap kalimatnya adalah cermin dari harapan yang hancur dan impian yang lenyap, menyisakan hanya rasa sakit yang menyesakkan dan rasa malu yang membekas.

Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, merasa tak berdaya dan terjebak dalam kekosongan yang mendalam. Hatiku terasa hancur melihat sahabatku dalam kesedihan yang begitu mendalam, dan aku merasakan betapa tidak memadainya usahaku untuk benar-benar membantu. Aku mencoba memberikan dorongan dan semangat melalui beberapa komentar di statusnya, tetapi aku tahu betul bahwa kata-kata itu tidak akan pernah cukup untuk menghapus rasa sakit yang menyelimutinya. Seolah-olah setiap kalimat yang ku tulis hanyalah riak kecil di lautan penderitaan yang mengelilinginya.

Di sisi lain, rasa penasaran yang mendalam menyergap diriku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi pikiranku. Siapa sebenarnya pria yang mampu memenangkan hati Anita? Pertanyaan ini terus berputar di dalam kepalaku, tanpa memberi jawaban yang memuaskan. Setiap kali aku mencoba merenungkannya, hanya muncul rasa ingin tahu yang semakin mengganggu.

Gambar-gambar kemungkinan dan dugaan-diagnosa mulai bermunculan dalam benakku, seolah-olah aku berada dalam labirin misteri yang tak kunjung terpecahkan. Apakah dia seseorang yang memiliki segala kelebihan yang bisa mengalahkan daya tarik Wawan? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih mendalam, sebuah hubungan emosional yang tak terlihat, yang membuat hati Anita tertambat pada seseorang yang belum kami kenal?

Dalam keheningan malam yang melingkupi kamarku, rasa sakit dan keingintahuan ini saling bertautan, menciptakan sebuah perasaan yang menyiksa. Meskipun aku berusaha untuk fokus pada mendukung sahabatku, pikiranku terus melayang pada pertanyaan tanpa jawaban ini, mencari penjelasan yang mungkin hanya akan ditemukan seiring berjalannya waktu.

Di tengah lamunanku yang mendalam, keheningan kamarku tiba-tiba pecah dengan suara deringan ponselku yang tajam, menghentikan aliran pikiranku sejenak. Aku meraih ponsel dengan tangan yang terasa kaku, dan melihat bahwa itu adalah SMS dari Rizal, salah seorang anggota tim futsalku.

Pesan singkat itu menampilkan pengingat sederhana namun penuh makna: "Jangan lupa, satu jam lagi ada pertandingan futsal."

Kata-kata itu seolah datang dari dunia luar, membangkitkan aku dari keterpurukan yang aku rasakan, seperti secercah cahaya dalam kegelapan. Pesan dari Rizal membawa kembali kesadaran akan kenyataan, mengangkatku dari kedalaman empati yang membuatku terjebak dalam duka sahabatku.

Rasa empati yang mendalam terhadap Wawan, yang sempat menyelimuti seluruh pikiranku, kini digeser oleh urgensi dan tanggung jawab yang tiba-tiba hadir. Suara deringan itu seakan menjadi jembatan yang menghubungkan dunia internalku dengan realitas luar yang penuh dengan aktivitas dan komitmen.

Aku menatap ponselku sejenak, merasakan bagaimana perasaan campur aduk ini mulai berubah. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa meskipun beban emosional masih ada, hidup harus terus berjalan. Pesan itu mengingatkanku bahwa ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, dan bahwa aku harus segera bergerak dari keterpurukan ini menuju dunia di luar dinding kamar yang penuh dengan harapan dan aktivitas.

Dengan napas dalam-dalam, aku berdiri dan meraih jaket futsalku, menyadari bahwa pertandingan yang akan datang bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga sebuah kesempatan untuk melepaskan sebagian beban emosional dan kembali ke rutinitas yang menghidupkan kembali semangatku.

Dengan cepat, aku bangkit dari tepi tempat tidur, tubuhku bergerak otomatis seperti mesin yang siap beraksi. Dalam kekacauan perasaan yang menguasai diriku, aku berusaha keras untuk mengalihkan perhatian dari semua drama yang menggelayuti hari ini. Setiap langkahku terasa berat, tetapi aku tahu aku harus fokus pada pertandingan yang akan datang.

Aku meraih sepatu futsal, seragam, dan semua perlengkapan lainnya dengan gerakan cepat dan tegas. Setiap benda yang kupegang terasa seperti jembatan menuju dunia yang berbeda—sebuah dunia di mana aku bisa melupakan sejenak segala masalah dan hanya berkonsentrasi pada permainan yang akan menguras energiku. Aku memeriksa dan memastikan semuanya sudah siap, seolah-olah ritual persiapan ini adalah cara untuk membebaskan diriku dari beban emosional yang mengikatku.

Saat aku memasukkan sepatu ke dalam tas dan mengenakan seragam, rasanya seperti menutup pintu menuju dunia luar yang penuh dengan ketidakpastian dan kesedihan. Aku mengikat tali sepatu dengan keteguhan, bertekad untuk memberi yang terbaik dalam pertandingan nanti. Namun, meskipun aku berusaha keras untuk menutup ruang bagi segala kecemasan dan duka, hati dan pikiranku tetap terikat pada cerita yang penuh dengan rasa sakit—tentang Anita dan Wawan yang terus menghantui pikiranku.

Di luar, dunia seolah-olah menunggu dengan janji akan sebuah pelarian, sebuah kesempatan untuk mengalihkan fokus dari segala kesedihan yang menghimpit. Ketika aku melangkah keluar dari rumah, aku merasakan aliran udara segar dan dorongan semangat yang baru. Aku tahu, di lapangan futsal, aku akan menemukan kesempatan untuk melepaskan sebagian dari beban ini, dan mungkin, hanya mungkin, menemukan kembali sedikit dari rasa hidup yang sempat hilang.

Di lapangan futsal, suasana sore terasa penuh kontras—udara segar berhembus lembut, seakan menawarkan pelarian dari kekacauan emosi yang aku rasakan. Namun, di tengah kelegaan ini, bayangan kejadian di kafe tadi masih mengganggu pikiranku, seperti noda gelap yang tak kunjung pudar. Aku berdiri di pinggir lapangan, mencoba menenangkan pikiran yang masih bergejolak, dan mulai melakukan pemanasan sebelum pertandingan dimulai.

Gerakan pemanasan terasa seperti ritual yang akrab, tetapi kali ini, mereka tampak tidak mampu sepenuhnya mengalihkan perhatian dari rasa sakit hati yang mendalam. Setiap tendangan dan peregangan yang ku lakukan tampaknya hanya membentur tembok ketidakpastian yang melingkupi diriku. Aku mencoba meresapi ritme dari setiap gerakan, berusaha keras untuk menghubungkan tubuhku dengan pola permainan yang familiar. Namun, meskipun aku berusaha keras untuk fokus, suara bisikan tentang Anita dan Wawan terus menggema di dalam kepalaku, seolah-olah mereka adalah bagian tak terpisahkan dari ritme yang ku coba raih.

Aroma lapangan futsal, campuran antara rumput sintetis dan keringat, seolah menyejukkan tubuhku, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikiran yang terus berputar. Aku berusaha mengabaikan rasa sakit yang masih mencengkram hati, mencoba membenamkan diriku dalam persiapan fisik untuk pertandingan. Namun, setiap tendangan yang ku lepaskan dan setiap pelipatan otot yang ku lakukan tampaknya tidak dapat menghapus jejak ketidakpastian dan kekecewaan yang mengganggu pikiranku.

Di bawah sinar matahari sore yang memancar lembut, aku bergerak dengan semangat yang sedikit tergerus, berusaha keras untuk menemukan kembali ritme yang selama ini menjadi pelarianku dari segala kesedihan. Setiap gerakan adalah upaya untuk menyatu dengan permainan, berharap bahwa di lapangan ini, aku bisa menemukan sedikit kelegaan dari beban emosional yang menimpa.

Tiba-tiba, dalam kebisingan dan fokus latihan, aku merasakan tepukan ringan di pundakku, disertai dengan suara yang familiar memanggil namaku, “Dewo!” Aku menoleh dengan cepat, dikejutkan oleh wajah yang tidak kuharapkan—Kurnia, salah satu teman satu tim futsalku, berdiri di belakangku dengan senyuman lebar di wajahnya. Namun, kejutan sesungguhnya baru saja mulai terungkap saat aku melihat siapa yang berdiri di sampingnya.

Kurti, sahabat Anita, berdiri di samping Kurnia, tampak akrab dan nyaman. Melihat mereka berdiri berdampingan, aku tidak bisa menahan rasa terkejut dan bingung. Hubungan mereka jelas menunjukkan kedekatan yang tak terduga; keduanya tampak seperti pasangan yang sudah lama saling mengenal. Dalam suasana lapangan futsal yang segar dan ceria, kehadiran Kurti—yang erat kaitannya dengan Anita—menambah lapisan kompleksitas pada perasaanku.

Kurti tersenyum, dan Kurnia, dengan nada cerianya, memperkenalkan Kurti kepadaku. "Ini Kurti, teman lama," katanya, seolah-olah perkenalan ini adalah hal yang biasa. Namun, di mataku, setiap detil dari kehadiran Kurti terasa penuh arti. Keakrabannya dengan Kurnia dan posisinya sebagai sahabat Anita menciptakan sebuah jalinan yang membingungkan dan mengganggu.

Kurti menyapa dengan ramah, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang membungkus diriku, seolah-olah ada tirai tipis yang memisahkan kami dari kenyataan yang lebih dalam. Interaksi ini, yang semula terasa sederhana, kini menjadi pengingat betapa rumit dan berlapisnya hubungan yang ada di sekelilingku. Aku mencoba tersenyum dan menjawab sapaan mereka, namun setiap senyuman yang ku tampilkan terasa berat, karena di balik kedekatan ini tersembunyi pertanyaan yang belum terjawab—tentang bagaimana hubungan mereka dengan Anita dan dampaknya terhadap situasi yang sedang kuhadapi.

Kehadiran Kurti di sini, di lapangan yang biasanya penuh dengan semangat kompetisi, seakan membawa aura yang berbeda—sebuah pengingat bahwa hidup ini sering kali lebih rumit daripada yang tampak di permukaan.

Saat aku mengamati mereka, aku baru menyadari kenyataan yang mengejutkan: Kurnia dan Kurti ternyata berpacaran. Kesadaran ini menghantamku dengan keras, seolah-olah dunia di sekelilingku berputar dalam tempo yang berbeda. Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan bahwa Kurnia dan Kurti memiliki hubungan romantis. Melihat mereka bersama, saling bertukar senyuman dan tatapan penuh kasih, membuatku merasa terjebak dalam labirin kebingungan dan keterkejutan.

Gambaran kedekatan mereka seakan menarikku kembali ke kejadian di kafe—tempat di mana aku dan Wawan menghadapi kegagalan dan penolakan. Semua perasaan tidak nyaman dan kejanggalan dari pertemuan tersebut kembali melayang di pikiranku. Kesedihan yang tersisa dari penolakan Anita dan kegundahan yang mengikutinya terasa semakin mendalam dengan hadirnya Kurnia dan Kurti di hadapanku.

Aku berusaha keras untuk menjaga ketenangan dan menyapa Kurti dengan senyum yang tampaknya kikuk dan dipaksakan. Dalam setiap detil senyuman itu, aku berusaha menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul dan merayapi diriku. Aku bisa merasakan betapa sulitnya menjaga ekspresi yang tenang di tengah kekacauan perasaan yang menguasai hatiku.

Kurti menyapa dengan keramahan yang tulus, tetapi setiap kata yang terucap darinya terasa seperti lonceng yang mengingatkanku pada kenyataan yang tidak bisa kuabaikan. Dalam percakapan singkat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian dari kegundahan yang mengisi kepalaku, berharap agar semua ini tidak terlalu terlihat dan tidak mengganggu dinamika yang baru saja muncul di lapangan.

Di tengah kebisingan lapangan dan gerakan pemain yang bergerak aktif, aku mencoba untuk menemukan kembali pusat keseimbangan emosionalku, berusaha keras untuk tidak membiarkan kekacauan di dalam diriku mempengaruhi momen yang seharusnya penuh dengan semangat dan persahabatan.

"Hei, Kurti," kataku dengan nada yang sedikit terputus-putus, sambil mengangguk singkat untuk menyapa. Suara ku terasa datar, dan senyumku tampaknya kaku—sebuah usaha yang tampaknya gagal menutupi kekacauan emosi yang meluap di dalam diriku. Kurti membalas dengan senyuman ramah yang tak terpengaruh oleh ketegangan sebelumnya, seolah-olah kejadian di kafe tidak pernah ada.

Namun, meskipun senyuman itu tulus dan menyenangkan, aku merasa ada dinding tak terlihat yang menghalangi kami. Dinding itu terasa dingin dan menindih, seperti pemisah yang tidak bisa kuabaikan. Setiap tatapan dan setiap gerakan terasa seperti upaya untuk merobohkan batasan-batasan yang telah terbentuk di antara kami. Kurti tampak sangat nyaman, namun kehadirannya justru menggarisbawahi betapa terpisahnya aku dari realitas baru ini.

Perasaan ini bagaikan kabut yang menyelimuti aku, sulit untuk didefinisikan namun cukup nyata untuk dirasakan. Dalam setiap percakapan ringan dan tawa yang kami bagikan, aku merasakan betapa tipisnya garis antara kenyataan dan ilusi. Setiap kata yang terucap terasa seolah-olah terjebak dalam ruang kosong yang dipenuhi dengan ketidaknyamanan dan pertanyaan yang belum terjawab.

Aku berusaha keras untuk tetap terlihat santai, tetapi setiap detik berlalu dengan perasaan semakin berat. Di tengah kerumunan teman dan keriuhan lapangan, aku merasa terasing—seolah-olah ada jarak yang tidak bisa dilihat namun sangat nyata. Dengan penuh usaha, aku mencoba untuk mengikuti alur percakapan, berharap bisa menemukan kembali ketenangan yang hilang dan mengabaikan dinding yang membatasi hubungan ini.

Kurtinya menampilkan senyum hangat, tetapi senyum itu seakan membekukan semua rasa yang meluap di dalam diriku, menegaskan betapa rumit dan rumitnya situasi ini.

Kurnia tampak tidak menyadari ketegangan yang melingkupi suasana. Dengan antusiasme yang tak tergoyahkan, dia mulai berbicara dengan semangat tentang pertandingan yang akan datang. Dia menguraikan strategi dan posisi yang akan kami ambil dengan detail yang penuh gairah, seolah-olah dunia di sekelilingnya hanya berputar di sekitar bola futsal dan rencana permainan kami.

Namun, tatapanku sering kali melirik ke arah Kurti. Kurti duduk di samping Kurnia, tampak sangat nyaman dalam kedekatannya. Mereka berbicara dan tertawa bersama dengan keakraban yang menyentuh, seolah-olah tidak ada masalah yang mengganggu. Setiap tawa dan senyuman mereka semakin menyoroti rasa terasingku di tengah-tengah mereka.

Di dalam kepalaku, pertanyaan-pertanyaan tentang Anita, Wawan, dan perasaan yang kusimpan sendiri terus berputar seperti pusaran tak berujung. Setiap kali aku menatap Kurti dan Kurnia, rasa cemburu dan kekhawatiran mengisi pikiranku, mengaburkan fokusku pada apa yang terjadi di lapangan. Momen kebersamaan mereka, yang semula tampak sederhana, kini menjadi simbol dari semua ketidakpastian dan kekacauan emosional yang mengganggu diriku.

Sementara Kurnia mengatur strategi dan merencanakan langkah-langkah berikutnya dengan semangat yang menular, aku merasa terperangkap dalam labirin emosionalku sendiri. Setiap detil dari percakapan mereka tampak lebih terang dan lebih jelas, seolah-olah mereka sedang menjalani sebuah cerita yang sama sekali berbeda dari cerita yang kurasakan.

Aku berusaha untuk tetap tersenyum dan berpartisipasi dalam percakapan, tetapi di dalam diriku, rasa cemas dan kekhawatiran terus menerus menggeliat. Rasanya seperti aku terjebak di tengah panggung yang penuh dengan penonton yang tidak ku mengerti, dan setiap tawa dan canda dari Kurti dan Kurnia hanya menambah beratnya beban emosional yang harus ku tanggung. Di tengah keriuhan yang mengelilingiku, aku berharap bisa menemukan cara untuk mengatasi ketegangan ini dan kembali ke fokus permainan, meskipun perasaan yang mendalam dan rumit terus menghantui pikiranku.

Lihat selengkapnya