Keesokan harinya, Priam dan aku menghadiri kelas tambahan yang tak terduga di hari Sabtu. Kampus seharusnya libur di akhir pekan, dan suasana sekitar tampak jauh lebih sunyi dari biasanya. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak berjalan cepat, seolah mereka juga merasakan ketidaknyamanan dari aktivitas yang tidak biasa ini. Banyak warung makan yang biasanya ramai pun tampak tutup, meninggalkan kami dengan sedikit pilihan untuk makan siang.
Setelah kelas berakhir, Priam dan aku memutuskan untuk berkeliling, berharap menemukan tempat makan yang masih buka. Kami menyusuri jalan yang terasa lengang, suasana yang tenang malah membuat setiap langkah kami terasa lebih berat. Ketika kami melintas di sebuah persimpangan, sebuah motor matic melintas dengan kecepatan sedang di depan kami. Aku melihat dengan penuh perhatian, dan jantungku tiba-tiba berdebar lebih kencang.
Motor itu melaju lambat, dan saat aku memandang lebih dekat, mataku membelalak. Itu adalah Anita. Tampak begitu anggun dengan balutan pakaian santai, rambutnya yang dibiarkan tergerai tertiup angin, seolah-olah dia baru saja keluar dari dunia yang jauh lebih glamor daripada kehidupan kami sehari-hari. Ada sesuatu yang tak tertangkap oleh mata sekilas—sebuah aura atau magnet yang membuatnya tampak begitu menonjol.
Aku berdiri terpaku, merasa seolah waktu melambat. Pikiranku berlari kencang, berusaha memproses apa yang baru saja kulihat. Anita melintas dengan begitu cepat, seolah dia hanyalah bayangan dalam kehidupan sehari-hari yang monoton ini. Suasana sekitar kami seolah hilang, dan segala sesuatu hanya berpusat pada momen singkat ini.
Priam yang melihat reaksiku bertanya dengan nada penasaran, "Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berhenti?"
Aku berusaha menenangkan diri dan menjawab dengan nada biasa, "Tadi... itu Anita. Dia melintas di depan kita." Suaraku bergetar, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang kurasakan. Kami berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan campur aduk, pikiranku masih terjebak pada sosok Anita yang baru saja berlalu, dan bagaimana nasib persahabatanku dengan Wawan bisa berubah oleh momen tak terduga ini.
Anita tampak terkejut saat melihatku dan Priam berdiri di trotoar. Ekspresi di wajahnya berubah dalam sekejap, dari keheranan menjadi kekacauan yang sulit dijelaskan. Mata kami bertemu sejenak, dan dalam detik-detik itu, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami. Tanpa peringatan, dia menoleh lagi ke arah kami dengan tatapan penuh kejutan.
Namun, reaksi itu begitu mendalam hingga membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Dia hampir terjatuh dari motor matic-nya, yang bergerak goyang-goyang sebelum dia dengan cepat mengendalikan kembali kendaraannya. Gerakan motor yang tidak stabil membuatku semakin tertegun, dan aku hanya bisa menatap dengan penuh keheranan saat Anita akhirnya melaju meninggalkan kami.
Priam, yang menyaksikan seluruh kejadian itu, mengerutkan kening dan bergumam dengan nada penuh rasa ingin tahu, "Kenapa dia bertingkah seperti itu tadi?"
Kata-kata Priam terdengar samar di telingaku, karena pikiranku masih sibuk memproses momen yang baru saja terjadi. Kenapa reaksi Anita begitu dramatis? Apa yang membuatnya begitu terkejut melihatku dan Priam? Semua pertanyaan ini berputar di kepalaku, sementara sosok Anita yang melaju menjauh masih terpatri jelas di benakku.
Kami melanjutkan perjalanan mencari tempat makan, tetapi suasana terasa berbeda. Ada ketegangan di udara, seolah kejadian singkat itu telah menambahkan lapisan misteri baru ke dalam hubungan kami. Aku mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahku, namun rasa penasaran dan cemas tetap menyelimuti pikiranku. Kejadian itu, seolah sebuah jendela ke dalam dunia yang lebih kompleks dari yang pernah ku bayangkan, meninggalkan rasa ingin tahu yang mendalam akan apa yang sebenarnya terjadi di balik tatapan terkejut Anita.
Aku pun ikut bertanya-tanya dalam hati, melamun dengan pikiran yang berkecamuk. Mungkinkah apa yang dikatakan oleh Kurnia dan Kurti itu benar? Apakah mungkin, di balik semua kebingunganku dan ketidakpastian ini, Anita memang menyimpan perasaan untukku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku, menciptakan gelombang emosi yang sulit diatasi. Setiap kali aku mencoba untuk berpikir rasional, bayangan wajah Anita yang terkejut dan kebingungannya saat melihatku dan Priam melintas di jalan kembali menghantui pikiranku. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati, sesuatu yang ingin kupecahkan namun terus menerus menimbulkan keraguan.
Kebingungan ini menciptakan perasaan campur aduk di dalam diriku. Di satu sisi, ada kilasan harapan yang menyalakan api kecil di dalam hatiku, yang mungkin, hanya mungkin, Anita benar-benar merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Namun di sisi lain, aku juga merasakan ketakutan yang mendalam—ketakutan akan kemungkinan bahwa semua ini hanya ilusi belaka, dan bahwa harapan-harapan ini mungkin hanya sebatas mimpi yang tak pernah terwujud.
Dalam kebisingan pikiranku yang bising, aku mencoba untuk mencari kejelasan. Setiap detail, setiap interaksi dengan Anita, kini terasa begitu signifikan dan penuh makna. Namun, dengan setiap langkah yang kuambil, ketidakpastian ini tetap membayangi, seolah menghalangi pandanganku untuk melihat dengan jelas apa yang sebenarnya ada di balik misteri ini. Perasaan campur aduk ini mengaduk-aduk jiwaku, menciptakan sebuah pertarungan antara harapan dan ketakutan yang terus menerus bergejolak di dalam diriku.
Kami akhirnya menemukan sebuah warung makan yang buka, sebuah oase di tengah hari yang sepi. Setelah memesan makanan dan menunggu dengan sabar, aku duduk di sudut meja, memandangi piring kosong yang sudah mulai menunggu. Namun, pikiranku masih terjebak dalam kejadian yang baru saja terjadi. Gambar Anita yang terkejut dan ekspresi herannya saat melihatku kembali berputar dalam benakku, seolah-olah memanggilku untuk mencari jawaban atas misteri ini.
Rasa penasaran dan keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang Anita mulai membakar semangatku. Aku merasa ada dorongan kuat yang mendorongku untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa—sesuatu yang bisa membawa pencerahan, atau setidaknya menjawab pertanyaan yang terus menghantui pikiranku. Dengan tangan yang sedikit gemetar dan hati yang berdebar, aku meraih ponselku dan membuka aplikasi Facebook. Nama Anita tertera di layar, dan aku menatapnya sejenak, seolah-olah nama itu sendiri bisa memberikan jawaban yang aku cari.
Aku menyusun kata-kata dengan hati-hati, berusaha untuk tidak terlihat terlalu terburu-buru atau memaksa. Pesan yang ku ketik adalah pesan pembuka yang sederhana, dengan nada yang santai dan tidak terlalu serius. "Hai, Anita! Tadi aku dan teman-temanku melihatmu di jalan. Kebetulan banget kita ketemu di warung makan yang sama. Gimana kabar kamu?"
Ketika aku menekan tombol kirim, jantungku berdetak kencang. Ada rasa campur aduk antara kegembiraan dan kecemasan, seperti menunggu sesuatu yang sangat penting dan sekaligus menakutkan. Aku menatap layar ponsel dengan penuh harap, seolah-olah jawaban yang akan datang bisa memberikan pencerahan yang selama ini kucari. Dengan setiap detik yang berlalu, aku semakin merasa terikat pada pesan yang telah ku kirimkan, dan rasa ingin tahuku semakin menguat seiring dengan menunggu balasan dari Anita.
“Heh, kamu tahu gak warung yang buka kalau hari Sabtu?” tulisku dengan penuh keraguan. Pesan yang tampaknya santai dan mungkin sedikit aneh sebagai pembuka percakapan ini, adalah langkah pertama yang ku ambil menuju sesuatu yang belum pernah ku coba sebelumnya. Dalam benakku, pesan ini bukan sekadar kata-kata; ia adalah jembatan menuju dunia yang baru dan penuh ketidakpastian. Setiap kata yang ku ketik seolah-olah adalah bagian dari permainan yang lebih besar—sebuah permainan berisiko di mana aku mempertaruhkan perasaan dan harapan.
Rasanya seperti bermain api. Api yang berkilauan, yang bisa membakar atau menerangi. Namun, di situlah letak keindahannya. Api ini bukan hanya tentang risiko, tapi juga tentang kegembiraan dan kemungkinan. Kemungkinan bahwa Anita mungkin merespons dengan sesuatu yang lebih dari sekadar balasan singkat. Kemungkinan bahwa percakapan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih berarti.
Sambil menunggu balasan, aku duduk dengan hati berdebar, seolah-olah setiap detik yang berlalu adalah momen berharga yang menentukan arah dari percakapan ini. Aku mengamati layar ponselku, merasakan setiap getarannya dengan cemas. Harapanku menggantung pada balasan yang belum datang, yang ku harapkan bisa memberikan arah dan makna baru dalam hidupku. Dalam heningnya suasana, aku hanya bisa berharap bahwa langkah ini—meskipun tampaknya kecil dan sederhana—adalah langkah yang tepat menuju sesuatu yang lebih indah dari yang pernah ku bayangkan.
Hari-hari berikutnya mengalir dengan rutinitas yang membosankan, seakan dunia di sekelilingku tetap berjalan sementara hatiku terasa terhenti. Tidak ada yang berubah; hari-hari berlalu seperti lembaran-lembaran buku kosong yang menunggu diisi. Perasaan hampa menyelimuti diriku, menjadi teman setia di setiap malam yang sunyi. Pesan yang kukirimkan kepada Anita di Facebook tetap tidak mendapat balasan, dan ketidakpastian ini menciptakan jurang yang semakin dalam di dalam hatiku.
Rasa sakit ini mirip dengan menunggu di depan pintu yang tidak pernah terbuka, sebuah pintu yang mengundang harapan dan kecemasan sekaligus. Aku berdiri di ambang ketidakpastian, menggenggam kunci yang tidak pernah ku ketahui akan membukakan apa. Setiap detik yang berlalu tanpa balasan seolah-olah menegaskan ketidakberartian usahaku, dan membuatku bertanya-tanya apakah Kurnia dan Kurti hanya mengalami salah paham atau bahkan sekadar bercanda.
Aku mencoba menenangkan diri dengan meyakinkan diri bahwa mungkin semua ini hanyalah ilusi. Mungkin perasaan bahwa Anita menyimpan perasaan untukku hanyalah sebuah fantasi yang diciptakan oleh harapan dan imajinasi. Namun, meski aku berusaha menutup rapat pintu perasaan itu, di dalam hati tetap tersimpan kekecewaan yang mendalam, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Rasa sakit ini bukan hanya tentang ketidakpastian, tetapi juga tentang kehilangan kesempatan yang mungkin tidak pernah ada, dan tentang bagaimana perasaan bisa menjadi sangat nyata meskipun hasilnya hanya sebuah kekosongan.
Wawan tidak pernah menyerah. Setiap hari, dia melanjutkan perjuangannya untuk meluluhkan hati Anita, meski setiap balasan yang diterimanya tetap dingin dan ketus. Tekadnya tampak tak tergoyahkan, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya yang tak mau padam. Meski sering kali tertekan oleh sikap Anita, Wawan tetap berusaha dengan semangat yang tidak pudar. Dia terus mengirimkan pesan-pesan yang penuh harapan, berusaha mencari cara untuk menyentuh hati Anita, meski usaha-usahanya seringkali sia-sia.
Namun, usaha Wawan tidak berhenti hanya pada upayanya untuk mendekati Anita. Dia juga terus mencari tahu siapa pria yang berhasil mencuri hati Anita. Setiap kali kami bertemu, dia selalu membawa cerita baru, teori baru, dan harapan yang tersisa. Wawan menceritakan tentang keberadaan pria tersebut dengan semangat yang mendalam, berharap bahwa setiap detail kecil yang dia kumpulkan bisa membantunya memecahkan teka-teki ini.
Di satu sisi, aku merasa kasihan pada Wawan. Kegigihannya yang tak henti-hentinya membuatku terharu, dan aku tidak bisa tidak merasakan empati untuknya. Setiap cerita baru yang dia bawa, setiap usaha yang dia lakukan, terasa seperti langkah yang tidak pasti menuju sebuah tujuan yang sulit dijangkau. Rasa simpati ini menjadi beban tersendiri di pundakku, seakan aku turut merasakan setiap kepahitan yang dialaminya.
Di sisi lain, kecemasan yang tak kunjung hilang terus menggerogoti pikiranku. Aku masih merasakan kegelisahan yang mendalam, entah itu mengenai kemungkinan hubungan antara Anita dan Wawan atau tentang bagaimana segala sesuatu akan berakhir. Rasa ketidakpastian ini seperti bayangan yang mengikutiku kemanapun aku pergi, mengganggu setiap langkahku dan membuatku bertanya-tanya tentang masa depan. Apakah semua ini hanya sebuah permainan takdir yang mempermainkan perasaan kita, atau adakah cahaya di ujung terowongan gelap yang menunggu untuk ditemukan?
Di tempat futsal, suasana ramai dan bersemangat dengan riuhnya sorakan dan ketukan sepatu di lapangan. Namun, di setiap istirahat, aku sering kali merasakan tatapan tajam dari Kurnia. Dia akan mendekatiku dengan senyum penuh harapan yang seakan berusaha menghapus ketegangan yang menyelimutiku.
"Kamu gimana, ada progress nggak?" tanyanya, suaranya penuh dengan keinginan yang tulus untuk mengetahui perkembangan yang mungkin belum pernah terjadi. Ada sesuatu di tatapan matanya—campuran antara kepedulian dan antisipasi—yang membuatku merasa lebih terbuka untuk berbagi, meski rasa cemas dan ketidakpastian yang melingkupi hatiku tidak mudah untuk diungkapkan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, jawaban yang sederhana namun menyimpan beban yang mendalam. "Nggak ada," ucapku dengan nada suara yang berat, seperti mengeluarkan bebannya yang tertahan. Rasanya seperti mengungkapkan kekecewaan yang tak tertulis, sebuah pengakuan tentang kegagalan yang sulit diterima.
Kurnia menatapku sejenak, mungkin mencoba memahami lebih dalam di balik jawaban singkatku. Senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi simpati yang tulus. "Jangan menyerah," katanya dengan lembut. "Kadang, hal-hal baik membutuhkan waktu. Yang penting, kamu terus berusaha."
Kata-katanya, meskipun penuh semangat dan dorongan, seolah menjadi pengingat akan kenyataan yang sulit diterima. Rasanya seperti seberkas cahaya kecil di tengah kegelapan, tetapi cahaya itu tidak cukup untuk mengusir bayang-bayang keraguan yang terus menghantui pikiranku. Kurnia kembali ke lapangan, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk—rasa tertekan karena tidak bisa memenuhi harapan orang lain dan rasa tertekan karena ketidakpastian yang melingkupi masa depanku.
Kurnia terlihat kecewa, meskipun dia berusaha keras untuk menjaga semangatnya. Matanya yang biasanya cerah kini terlihat sedikit suram, tetapi dia tetap berusaha meyakinkanku dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
"Dewo, aku yakin Anita itu suka sama kamu," katanya, suaranya penuh dengan dorongan dan harapan. "Aku tahu dia bukan tipe yang mudah terbuka, tapi kamu harus percaya pada perasaanmu dan usahamu."
Aku tersenyum pahit, senyum yang menyembunyikan rasa putus asa yang mendalam. Hatiku terasa berat, seolah menggendong beban yang tak tertanggung. "Kurnia," ujarku dengan nada yang penuh kebingungan dan kelelahan, "bahkan pesanku di Facebook saja nggak dibalas. Bukankah itu tanda yang cukup jelas kalau dia nggak tertarik?"
Kata-kataku seperti tersangkut di tenggorokan, penuh dengan rasa sakit yang sulit diungkapkan. Jari-jariku bergetar ringan saat memikirkan semua usaha yang telah kulakukan, semua harapan yang perlahan sirna dalam kebisuan yang menyakitkan.
Kurnia menatapku dengan tatapan penuh simpati, seakan mencoba mencari kata-kata yang bisa menghapuskan keraguan di hatiku. "Aku tahu, itu sulit. Tapi kadang-kadang, orang butuh waktu untuk benar-benar terbuka. Jangan menyerah hanya karena satu sinyal yang dingin. Ada banyak hal yang belum kita ketahui."
Tapi dalam hatiku, rasa putus asa semakin mendalam. Seakan setiap kata yang Kurnia ucapkan hanyalah hiasan untuk kenyataan pahit yang harus kuhadapi. "Aku hanya merasa, kadang-kadang, meskipun kita berharap dan berusaha sekuat tenaga, hasil akhirnya tidak selalu sesuai dengan yang kita inginkan," kataku perlahan, mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
Kurnia menghela napas panjang, dan aku bisa merasakan bahwa dia benar-benar memahami kesulitan yang kualami. Dia mengangguk pelan, mungkin menyadari betapa dalamnya rasa sakit yang kurasakan. "Aku mengerti," katanya lembut. "Tapi jangan biarkan rasa putus asa mengalahkanmu. Teruslah berjuang, dan siapa tahu apa yang akan terjadi nanti."
Dia meninggalkanku dengan senyum lemah, dan aku duduk di sana, merasa seolah berada di persimpangan jalan—antara terus berharap dan menyerah pada kenyataan. Di tengah keraguan dan kekecewaan, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mencoba mengumpulkan sisa-sisa harapan dan terus melangkah maju, meskipun langkahku terasa sangat berat.
Kurnia terdiam sejenak, matanya menatap jauh seolah mencari jawaban dalam kekosongan. Dia tampak memikirkan sesuatu dengan intens, mencoba menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkannya. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya dengan hati-hati, seolah-olah setiap kata yang keluar adalah hasil dari pertimbangan yang mendalam.
“Mungkin dia hanya bingung atau belum siap,” katanya perlahan, nada suaranya penuh dengan empati. “Terkadang perasaan itu sulit untuk diungkapkan, terutama jika dia sendiri belum yakin dengan perasaannya. Bisa jadi dia merasa terjebak antara rasa ketertarikan dan ketidakpastian.”
Dia berhenti sejenak, seolah memberikan ruang bagi kata-katanya untuk meresap. Aku memandangnya dengan mata yang penuh keraguan, mencoba mencerna penjelasan yang diberikan.
“Cobalah untuk memahami posisi Anita,” lanjutnya, “mungkin dia sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, takut akan konsekuensi atau penolakan. Perasaan ini sering kali datang dengan ketidakpastian yang menyakitkan. Kadang-kadang, orang butuh waktu untuk mengenali apa yang sebenarnya mereka rasakan dan bagaimana cara terbaik untuk mengekspresikannya.”
Kurnia terlihat berusaha keras untuk meyakinkanku, dan meskipun aku bisa merasakan kebenaran dari kata-katanya, rasa sakit dan keraguan di hatiku terasa sulit untuk diatasi. “Tapi bagaimana kalau semua usaha ini sia-sia?” tanyaku dengan nada putus asa. “Bagaimana kalau semua ini hanya ilusi belaka?”
Dia menatapku dengan penuh pengertian, seolah dia sendiri juga pernah merasakan keraguan yang sama. “Kadang, kita harus percaya bahwa usaha kita tidak akan sia-sia,” jawabnya lembut. “Mungkin hasilnya tidak selalu seperti yang kita harapkan, tapi setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan kita. Cobalah untuk tetap positif dan beri waktu, bukan hanya untuk Anita, tetapi juga untuk dirimu sendiri.”
Mendengar kata-katanya, aku merasa sedikit terhibur, meskipun rasa sakit itu tetap membekas. Kurnia memberikan sebuah senyum lembut, mencoba memberikan dorongan yang mungkin bisa membantuku melewati kegelapan yang kurasakan. Meskipun aku masih dilingkupi oleh ketidakpastian dan rasa sakit, setidaknya ada sedikit cahaya harapan yang menyinari jalan yang penuh keraguan ini.
Namun, di kedalaman hatiku yang paling dalam, aku tahu bahwa aku sudah menyerah. Semua usaha, semua harapan, terasa seperti mengisi ruang kosong yang tidak akan pernah dipenuhi. Tidak ada gunanya berharap pada sesuatu yang tidak pasti—ini adalah kebenaran pahit yang perlahan mulai menggigit.
Meski demikian, ada bagian dari diriku yang enggan menyerah sepenuhnya. Bagian itu, yang tersembunyi di balik lapisan keraguan dan kekecewaan, masih bergeming dengan harapan yang samar. Ada dorongan kecil yang mendorongku untuk percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, masih ada sesuatu yang belum kuketahui—sebuah kemungkinan yang belum sepenuhnya terbuka.
Namun, setiap kali aku mencoba menggapai harapan tersebut, kenyataan dengan kejam mengingatkanku akan batasan-batasan yang ada. Keberadaan harapan itu terasa seperti ilusi—sesuatu yang mengelilingiku dengan keindahan yang menipu, tapi pada akhirnya hanya membawa rasa sakit ketika ia tidak pernah terwujud.
Malam-malam yang hening menjadi saksi betapa perasaan ini menggantung, tanpa jawaban yang memadai. Aku terjebak dalam ketidakpastian, merindukan sesuatu yang mungkin tidak pernah ada. Dan meskipun aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa ini adalah bagian dari perjalanan, rasa kecewa terus meresap dalam setiap detik, membuatku meragukan apakah harapan itu lebih dari sekadar bayangan kosong yang melayang di ujung pandangan.
Di tengah kegelapan rasa putus asa yang semakin meresap, sebuah secercah harapan kecil mulai berkilau di sudut hatiku. Benih keyakinan yang ditanamkan oleh kata-kata Kurnia seperti sinar matahari yang mencoba menembus awan tebal, memberi sedikit cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti.
Aku mulai berandai-andai, membiarkan diriku tenggelam dalam fantasi yang penuh warna. Bayangkan jika Anita benar-benar memiliki perasaan untukku—bagaimana rasanya? Aku membayangkan senyumnya, mungkin saat dia melirikku dengan tatapan lembut, atau saat dia berbicara tentang hal-hal kecil yang membuatku merasa diperhatikan. Gambaran ini memberi sedikit semangat pada hari-hariku yang sepi dan membosankan, seperti sebuah pelita kecil yang bersinar di malam yang gelap.
Pikiran tentang kemungkinan tersebut menjadi tempat pelarian, sebuah ruang di mana aku bisa membiarkan diriku berharap tanpa rasa takut. Setiap kali aku merasa tertekan oleh kenyataan, aku kembali ke fantasi ini, di mana Anita—gadis yang selama ini hanya aku pandang dari jauh—menjadi bagian dari hidupku, bukan sebagai sesuatu yang jauh dan tak terjangkau.
Walaupun kesadaran bahwa ini hanyalah sebuah angan-angan membayang di setiap sudut pikiranku, ada sesuatu dalam bayangan ini yang memberi kekuatan dan membuatku terus melangkah. Rasanya seperti memeluk sebuah mimpi indah yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya nyata, tapi cukup untuk membuatku terus berharap dan bertahan di tengah badai emosi yang menggulung.
Namun, harapan itu segera diguncang oleh kenyataan yang tidak terduga. Suatu sore, setelah memarkir motor di area kampus, aku, Bahar, dan Priam memutuskan untuk menuju ruang kelas dengan langkah ringan, mencoba mengusir kebosanan dengan obrolan ringan tentang berbagai hal. Suasana sepi di kampus yang biasanya tidak terlalu ramai membuat kami merasa seolah-olah dunia hanya milik kami. Namun, ketenangan ini tiba-tiba terpecah oleh sebuah pemandangan yang membuat kami semua terhenti sejenak.
Dari kejauhan, mataku menangkap sosok yang familiar. Aku berusaha fokus pada apa yang sedang terjadi, dan perlahan, gambaran itu semakin jelas. Anita, dengan senyum khasnya yang selalu tampak anggun dan misterius, tampak berboncengan dengan seorang laki-laki di motor. Mereka melintas dengan santai, tampak akrab dan saling bercengkerama. Laki-laki itu, meski tidak terlalu jelas wajahnya dari kejauhan, tampak nyaman di samping Anita, dan kedekatan mereka jelas terlihat.