Esok harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya, didorong oleh rasa gugup yang menggantung di udara. Hari ini seolah-olah adalah hari penentu dalam hidupku, dan setiap detil terasa begitu penting. Aku memilih pakaian terbaik yang kumiliki, berusaha tampil sebaik mungkin sambil menghadapi serangkaian kemungkinan yang bisa terjadi. Dalam hati, perasaan campur aduk menyelimuti: cemas, harap-harap cemas, dan sedikit kebingungan. Jika Anita tidak memenuhi janjinya, maka mungkin semua perasaan ini hanya sia-sia, sebuah ilusi yang tak pernah menjadi kenyataan.
Namun, jika Anita benar-benar datang, maka itu akan menjadi sinyal yang kuat bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan antara kami. Bayangan itu membuat jantungku berdebar lebih cepat, penuh harapan dan ketegangan. Aku membayangkan bagaimana wajahnya saat kami bertemu, dan berharap hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih berarti. Di sisi lain, kekhawatiran tentang bagaimana harus memberitahu Wawan menghantui pikiranku. Wawan, sahabatku yang selama ini memiliki perasaan untuk Anita.
Bagaimana aku bisa mengkhianati harapan sahabatku sendiri? Apakah ini berarti aku harus memilih antara perasaan pribadi dan persahabatan yang telah lama terjalin? Kesedihan dan kebingungan menyelimuti pikiranku saat aku melangkah menuju kampus, dengan setiap langkah terasa lebih berat, penuh dengan keraguan dan harapan.
Aku melangkah menuju kampus dengan perasaan berat yang menggantung di pundakku. Langkahku terasa semakin lambat seiring dengan meningkatnya kegelisahan. Setiap detik yang berlalu bagaikan siksaan, setiap langkah seakan menjadi beban yang semakin berat. Meski berusaha untuk tetap tenang, bayangan Wawan yang selama ini berjuang untuk mendekati Anita terus menghantui pikiranku, seolah-olah mengingatkan betapa rumitnya situasi ini. Bagaimana aku bisa mengungkapkan kepada sahabatku bahwa Anita mungkin memiliki perasaan yang sama padaku? Apakah aku siap untuk menghadapi konsekuensi dari keputusanku?
Ketika akhirnya tiba di kampus, suasana seakan melambat. Aku mencari-cari sosok Anita dengan penuh harapan dan kecemasan. Jantungku berdetak semakin kencang saat waktu mendekati pukul dua siang. Setiap menit terasa seperti selamanya, menambah beratnya perasaan yang menyelimuti diriku. Aku berdiri di sudut kampus, berusaha untuk tetap terlihat tenang, namun hatiku dipenuhi dengan kecemasan dan harapan yang campur aduk.
Kepala ku menoleh ke arah setiap sosok yang lewat, berharap menemukan sosok Anita di antara kerumunan. Selama waktu yang terasa seperti keabadian, aku mencoba untuk tidak membiarkan kegelisahan menguasai diriku, meskipun ketegangan semakin meningkat. Setiap detik berlalu dengan rasa tegang yang menyelimutiku, seolah-olah seluruh dunia sedang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan kemudian, di kejauhan, mataku menangkap sosok yang sangat aku nantikan. Anita sudah duduk di bangku taman kampus, membawa buku SMA yang hendak kupinjam. Dress cantik berwarna kuning yang dikenakannya memancarkan keanggunan yang sebanding dengan kecantikannya. Senyum tipis yang menghiasi wajahnya saat melihatku mendekat membuat waktu seakan berhenti. Di antara kebahagiaan dan kecemasan yang menyelimuti diriku, dia datang. Dia memenuhi janjinya. Namun, di balik kebahagiaan itu, bayangan Wawan terus menghantui pikiranku. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, hidupku tidak akan pernah sama lagi.
Dengan langkah mantap, aku mendekati Anita. Dress kuningnya berkibar lembut di bawah sinar matahari sore, menambah pesona yang sudah dimilikinya. Setiap langkahku terasa seperti melayang, jantungku berdebar dengan ritme yang tak bisa kutahan. Saat aku berdiri di depannya, dia menyapaku dengan suara lembut yang mampu membuat hatiku bergetar. “Hai, Mas Dewo. Ini buku yang kamu mau pinjam,” katanya sambil menyerahkan buku itu kepadaku.
Aku terpaku sejenak, terpesona oleh keindahan dan kebaikannya yang tampak begitu nyata di hadapanku. Anita, yang kuimpikan selama ini, bukan lagi hanya sekadar bayangan dalam angan-angan. Dia adalah kenyataan yang perlahan-lahan mendekat, menghapus semua ketidakpastian yang pernah ada dalam pikiranku. Senyumku meluas, walaupun ada ketegangan yang kurasakan. Dengan senyum yang sama, aku menerima buku itu, dan dalam hatiku, aku bersiap menghadapi segala sesuatu yang mungkin datang setelah pertemuan ini. Di bawah sinar matahari sore yang lembut, ada rasa harapan baru yang membara, bersamaan dengan keputusan yang harus kuambil mengenai hubungan ini dan dampaknya terhadap persahabatanku dengan Wawan.
Kami hanya berbicara singkat. Anita harus pergi ke kelas setelah ini, jadi waktu kami bersama terbatas. Meskipun begitu, setiap detik terasa berharga, dan setiap kata yang diucapkan terasa lebih dalam dari biasanya. Ada kehangatan yang mengisi udara di sekitar kami, meskipun waktu kami bersama terbatas.
Saat detik-detik terakhir pertemuan kami tiba, Anita tiba-tiba berbalik, seolah-olah ingin memastikan bahwa kata-katanya terakhir kali ini akan meninggalkan kesan mendalam. Dengan tatapan yang penuh arti, dia mengucapkan terima kasih. Dia menyebutkan bahwa setelah merenungkan saranku, dia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan pacarnya. “Aku akan menunggu sampai orang yang benar-benar aku suka menyatakan perasaannya,” kata Anita dengan lembut.
Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang besar. Setiap kalimatnya terasa seperti seruan dari hatinya yang tersembunyi. Suara hatiku bergemuruh, penuh dengan kegembiraan dan ketidakpastian. Anita, yang sekarang berdiri di hadapanku, membuka peluang baru yang mungkin saja kesempatan terakhirku. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa momen ini adalah titik balik, momen di mana keputusan besar harus diambil.
Seiring Anita melangkah pergi, meninggalkan jejak lembut di tanah kampus, aku merasakan campuran perasaan yang mendalam—takut akan kemungkinan yang belum pasti dan harapan yang mulai menyala. Momen ini bukan hanya tentang aku dan Anita; ini adalah keputusan yang melibatkan persahabatanku dengan Wawan. Aku tahu, di balik setiap pilihan yang kuambil, ada dampak besar yang harus kuhadapi. Saat Anita menghilang di balik belokan koridor kampus, hatiku bergetar, memikirkan langkah selanjutnya yang harus kuambil dalam perjalanan hidupku ini.
Langkahku terasa berat saat aku mendekati kafe, seolah setiap detik menambah beban di pundakku. Suara tawa dan obrolan ceria dari teman-teman kami memecahkan keheningan, namun aku merasakan suasana dalam diriku yang sebaliknya—sepi dan penuh kecemasan.
Ketika aku memasuki kafe, aku melihat Wawan tengah duduk di meja yang biasa kami tempati. Dia tampak santai, menikmati obrolan dengan teman-teman kami yang lain. Senyum lebar menghiasi wajahnya, seolah dia tidak memiliki beban di pikiran. Aku berhenti sejenak di pintu, menarik napas panjang dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berpacu cepat.
Aku melangkah maju, menuju meja tempat Wawan duduk. Dia melihatku dan segera menyapa, "Eh, Mas Dewo, ada apa?" Suaranya ceria, namun aku tahu bahwa tidak lama lagi suasana akan berubah drastis.
Aku duduk di hadapannya, dan teman-teman kami yang lain segera menyadari ketegangan di udara. Mereka berpaling, menunggu dengan penasaran. Aku mulai membuka percakapan dengan nada yang mencoba terdengar santai, "Wawan, aku perlu bicara denganmu tentang sesuatu."
Kekhawatiran di wajah Wawan mulai terlihat. Dia menatapku dengan mata yang penuh tanda tanya. "Ada apa? Kamu terlihat serius banget."
Aku mengumpulkan keberanian, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara, "Sebenarnya, ada sesuatu yang aku harus sampaikan tentang Anita."
Wawan menatapku dengan intens, seolah merasakan betapa beratnya apa yang akan aku katakan. Dengan setiap kata yang kuucapkan, aku bisa merasakan kepedihan di hatiku, bercampur dengan harapan dan ketidakpastian. "Anita baru saja memberitahuku bahwa dia telah memutuskan hubungan dengan pacarnya setelah mempertimbangkan saranku," kataku perlahan, menatap mata Wawan yang mulai kehilangan keceriaannya.
"Dan... aku juga harus jujur padamu, Wawan," lanjutku, suara ku mulai bergetar. "Aku merasa bahwa Anita juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Aku tahu ini mungkin sulit untuk didengar, dan aku sangat minta maaf jika ini menyakitkanmu."
Suasana di kafe terasa semakin tegang. Wawan tidak segera menjawab, dan aku bisa melihat betapa emosinya sedang bergolak di dalam dirinya. Teman-teman kami yang lain terdiam, mencoba mengerti situasi yang tiba-tiba berubah. Aku tahu, perbincangan ini akan membentuk kembali hubungan kami—baik itu persahabatan atau lebih dari itu.
Dengan setiap detak jantungku, aku menunggu reaksinya. Aku menyadari bahwa, apa pun keputusan Wawan, aku harus siap menghadapi konsekuensinya. Ini adalah titik balik yang menentukan, dan aku hanya bisa berharap bahwa kami semua bisa menemukan jalan keluar yang baik dari situasi ini.
Dengan tekad yang sudah bulat, aku melangkah mendekati meja tempat Wawan duduk. Ruangan kafe yang biasanya ramai tiba-tiba terasa sunyi, setiap obrolan seakan mereda seiring dengan kehadiranku yang penuh ketegangan. Semua mata tertuju padaku, menunggu dengan penasaran apa yang akan kukatakan.