War of Hearts

Chrstin
Chapter #2

Cinderella dan Sepatu Kayu


Tik tok tik tok... jam dinding memainkan alunan musiknya. Tak terasa, sudah waktunya untuk beristirahat dari rutinitas membosankan. Sambil membunuh waktu menunggu jemputan mewah, satu-dua lagu kupetik dari senar indah milik gitar tua ini. Tidak tahu siapa pemiliknya—kuharap salah satu karyawan di sini. Sepanjang hari, teman-temanku menyuarakan keberuntungan atas hubunganku: "Andai itu aku, pasti sudah bahagia setengah mati," atau "Wah... kamu mujur banget," dan kata-kata indah lainnya. Apa aku bosan? Mungkin saja. Di tengah ketidakpastian hidup, teman-teman yang sudah memulai bahtera baru, dan gempuran ekonomi—siapa yang tidak butuh pegangan? Begitulah pikirku sebulan yang lalu, ketika orang itu melamarku. Seorang yang tidak aku kenal, tapi dikenal oleh banyak orang. Termasuk teman-teman dekatku. Bahkan orang tuaku. Ah... kukuku, tersangkut di senar. Tak sadar handphone-ku berdering sejak tadi. Sepertinya orang itu sudah sampai. Aku menaruh gitar tua ini dan merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.


"Selamat malam, Pak."

"Baru pulang?"

"Iya, tunggu jemputan."

"Hati-hati, Nak."

"Terima kasih, Pak."

Aku menekan tombol lift sambil melambaikan tangan kepada Pak Marno. Ia adalah cleaning service di kantor ini. Anaknya karyawan di sini, bagian akuntansi. Sebentar lagi, anak Pak Marno juga akan menikah. Meski aku tidak dekat dengan anaknya, ia mengirimkan undangan kepada divisi kami dan satu undangan khusus untukku. "Datang ya! Sekalian bawa pasanganmu yang itu," katanya dengan senyum cerah. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman, alih-alih jawaban pasti. Mungkin saja orang itu mau bila kubujuk sedikit. Tapi entahlah... aku juga tidak tahu.

Pantulan bayangan pada kaca lift seperti menelanjangiku—menatapku dari atas hingga bawah. Memperhatikan sepatu sneakers yang kukenakan, celana panjang ivory seharga lima puluh ribu, dan kemeja hitam. Bayangan itu berkata, "Kok bisa orang seperti kamu yang dipilih?"

Aku... aku hanya bisa menutup mata, mengabaikan semua pandangan dengan makna menghakimi. Aku percaya pada orang itu. Percaya pada orang tuaku. Percaya pada teman-temanku. Inilah yang aku butuhkan. Pasti ini yang akan membuatku bahagia.

Aku melangkah pergi keluar dari kantor, meninggalkan penilaian yang tidak berarti. Mataku berseri ketika menemukan jemputan mewah itu—ia sudah ada di depan kantor, menantiku dengan sabar. Aku tersenyum lebar, tak sabar bertemu dengannya. Setelah satu bulan berlalu, kami hanya bertukar pesan. Sesekali, ia mengirimkan buket bunga mawar ungu—bukan warna merah atau putih. Katanya, ungu adalah warna kesukaannya. Ia ingin aku menyimpannya.

Rasa kecewa sedikit menyeruak melewati celah-celah sempit keyakinanku ketika membuka pintu mobil ini. Ah... apa dayaku, tangan ini tak akan sampai menggapainya. Entah aku yang terlalu sombong, atau ia yang tidak ingin sedikit sederhana. Oke, Erisa... tenanglah. Ingat! Satu bulan lagi.

"Nona Eris, Ibu Serbian meminta bertemu hari ini."

"Apa?!"

"Pak Serbian berpesan untuk mampir ke butik dan salon terdekat."

Jantung ini mau berhenti rasanya. Dari semua hari, kenapa sekarang? Kalaupun aku tanya mengapa orang itu tidak memberitahuku terlebih dahulu, pastinya tidak akan ada jawaban. Ia hanya sebatas asisten pribadi. Bahkan saudara orang itu saja tidak tahu keberadaan masing-masing.

"Bagaimana dengannya? Apa ia akan hadir?"

"Pak Serbian bilang akan terlambat."

Jari-jari terasa gatal ingin menghubunginya. Aku mengeluarkan handphone-ku dari tas, mencari nama kontak miliknya. Setelah melihat percakapan terakhir kami, kuurungkan niat bengisku ini. Hanya menggenggam erat handphone-ku, menaruhnya kembali di tas, dan menghela napas.

"Kita akan ke butik mana?"

"Pak Serbian menyarankan ke Dior atau LV, Nona. Tapi kami kembalikan lagi ke Anda."

Aku tahu, bertemu ibunya bukan hal yang biasa. Meski orang itu mampu melihat hal biasa... mungkin. Seperti aku, misalnya. Di antara semua wanita cantik di sekitarnya—mengapa aku?

"Ah... baiklah, ke sana saja."

"Baik."

Cahaya-cahaya yang menghiasi gedung tinggi terlihat indah bila kamu melihatnya dari jauh. Tetapi terasa menyiksa bila kamu berada di dalamnya. Bintang-bintang memang sungguh menawan bila kamu melihatnya dalam kegelapan. Tetapi tubuhmu akan terbakar bila melihatnya dari dekat. Yah... mungkin sesuatu yang terlihat terang dari jauh bisa juga membawamu kepada kegelapan yang abadi. Apa semua cahaya yang kulihat dari gedung tinggi ini sama seperti orang itu?

"Bagaimana dengan gaun ungu ini? Apa Anda suka?"

Ah... pikiranku ke mana-mana, sampai lupa waktu.

"Apakah ini rekomendasi darinya?"

"Betul. Pelanggan VIP kami menyampaikan bahwa Anda harus mengenakan gaun atau pakaian apa pun yang berwarna ungu."

Mataku hanya tertuju pada jarum jam di dinding. Jangan sampai aku yang terlambat, sedangkan mereka harus menunggu aku, yang bahkan bukan orang sibuk ini.

"Oke, Mbak. Yang mana saja."

Bergegaslah aku menuju salon. Terserah rekomendasi dari siapa, karena waktu terasa mengejarku. Tentunya aku tidak sendiri. Ada asisten pribadi orang itu, sekaligus supirku malam ini. Hanya malam ini. Ia bukan sembarang orang—latar belakangnya tidak bisa dianggap main-main. Lulusan S2 Harvard Manajemen. Mungkin baginya, saat ini aku adalah lelucon.

"Apakah aku terlihat seperti candaan?!"

Ups! Aku kelepasan. Duh... mulutku ini! Gara-gara matanya yang terus memperhatikanku, jadi berpikir yang macam-macam.

"...Maaf bila Anda salah menafsirkan tatapan saya."

Lihat selengkapnya