War of Hearts

Chrstin
Chapter #3

Mawar Ungu Gadungan

Setiap dari kita pasti ingin dimengerti—oleh orang yang paling dicintai, tentunya. Tapi bagaimana jika rasa itu dikalahkan oleh cintamu yang lebih besar? Apakah keinginan itu bisa ditegakkan kembali, atau justru memilih untuk menutupnya rapat tanpa pernah bersuara? Bisakah, sedikit saja, ego dapat mengalahkannya?

Begitulah yang kupikirkan ketika menatap wajah kedua orang tuaku. Janjiku pada mereka bukan sebatas omong kosong. Mereka adalah jiwa yang mampu menahan kerusakanku. Tegakah aku membenturkannya lagi? Kuatkah aku melihat mereka menanggung malu atas setiap mata yang mulai menghakimi?

Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan tak terencana dengan mantan kekasih orang itu. Hari-hariku terasa normal—layaknya kehidupan yang memang sesuai denganku. Menaiki kendaraan umum dan berdesakan. Datang untuk menyelesaikan tugas, lalu pulang untuk bersantai. Tanpa distraksi dari siapa pun, termasuk orang itu.

Ya... orang yang membuat gaduh pagi ini. Ia mengirimkan buket mawar ungu ke mejaku dan sebuah kalung perak berbentuk bunga poppy. Bukan kata maaf yang ia ucapkan. Ia lebih memilih benda-benda mati ini yang berbicara—seakan bisa menghapus kesalahan yang telah terjadi. Semua mata yang melihat pastinya tahu betapa orang hebat itu sangat mencintaiku. Dan lagi, aku hanya tersenyum... tanpa tahu untuk siapa.

Selesai rapat divisi, aku kembali ke meja kerja. Mempersiapkan bahan untuk tugas berikutnya. Beberapa tugas penting telah kucatat pada post-it dan kulekatkan pada monitor. Satu notifikasi muncul di layar monitorku: "Datanglah ke hotel malam ini." Begitulah isi pesannya.

Sudah jelas, orang itu mungkin ingin bertemu. Kupandangi bunga mawar ungu yang kusisipkan di samping monitor. Apakah aku harus memaafkannya? Sudah tiga hari kami tidak saling berkomunikasi. Ia memang terus menghubungiku, namun tak satu pun pesan itu kubalas. Dan inilah hasilnya: sebuah pertemuan.

Haruskah aku merengek dulu untuk bisa bertemu dengannya? Baiklah... mungkin kejadian ini hanya sebuah kesalahpahaman. Sudah saatnya aku memaafkannya.

Akhirnya, kuputuskan untuk membalas pesannya dan melanjutkan pekerjaanku.

Harusnya demikian. Harusnya aku melanjutkan aktivitasku. Tetapi seseorang dengan leluasa masuk ke ruang kerja: si asisten orang itu. Pikiranku dipenuhi tanya. Orang itu tidak mungkin mengirimnya—terlalu dini untuk bersiap-siap menghadiri pertemuan malam ini.

"Halo, Nona."

"Ada apa?"

"Ibu Serbian meminta Anda makan siang bersama."

Ah... ternyata calon mertua. Kukira keluarga Serbian memang tidak mengenal rasa bersalah. Tapi mereka tampaknya sangat menyukai pertemuan mendadak. Sekarang, hal apa yang mesti kupersiapkan? Ini pertama kalinya aku berjumpa dengan calon mertuaku.

"Di mana?"

"Restoran seberang kantor."

Rasanya aneh bila tidak mempersiapkan sesuatu. Apa yang pantas untuk kuberikan? Bagaimana seleranya? Kepalaku dipenuhi bayangan barang-barang yang sekiranya pantas untuk dibawa. Apa aku harus bertanya pada asisten orang itu?

"Saya permisi, Nona."

Pada akhirnya, aku hanya memandangi ia meninggalkan meja kerjaku. Tidak satu pun kulayangkan pertanyaan itu. Kuperiksa waktu yang tertera di arloji tangan kiriku—tiga puluh menit lagi waktu istirahat. Lebih baik aku meminta izin untuk berangkat sekarang. Sungguh kebetulan, atasanku melintas dengan senyum lebar di wajahnya, seakan telinganya mengintai sejak tadi.

"Iya... Erisa, aku izinkan. Pergilah."

"Ciee... Erisa, jangan lupa oleh-olehnya~"

Pekik gembira memenuhi ruangan, sampai menutupi suara hati. Seperti biasa, tanggapanku hanya senyum cerah tanpa nyawa.

"Saya izin dulu, Pak."

Di balik tembok kaca ruangan, samar kulihat pandangan-pandangan yang menyengat—bak lebah yang terancam. Aku sudah tahu sejak dulu. Kita semua memang demikian, bukan? Bermain peran. Menggunakan topeng untuk bertahan di tengah sesuatu yang kabur. Kenyataan itu menawarkan racun, sementara kita terus membeli penawarnya. Tanpa menyadari harganya. Tanpa mengenali apa yang sudah menjadi korbannya.

Apa suatu saat aku akan mengetahui siapa korbanku? Gemerlap lampu jalan mengaburkan pandangan, saat aku melangkah ke sebuah jalan. Apakah jalan itu berliku? Berpasir? Lurus? Entahlah. Tidak ada yang pernah mempertanyakannya.

Sebelum bertemu Nyonya Serbian, aku mampir ke toilet—menebalkan kembali makeup yang mulai memudar. Tak lupa mengabari orang itu. Harapku, ia bisa datang menemani. Abaikan... ini cuma sekadar suara kecil yang tidak perlu. Kubuka kotak cantik berisi kalung bunga poppy, mengingatkanku pada permintaanku untuk membuat cincin pernikahan bermata bunga poppy. Walau belum dikabulkan, setidaknya sudah diwujudkan dalam bentuk lain. Kira-kira begitu. Kukenakan kalung ini, sebagai rasa penghargaan untuk orang itu. Sekarang, saatnya memulai pertarungan yang tak terlihat.

Sebelum masuk ke restoran, seruan asisten pribadi orang itu terdengar jelas.

"Nona!" serunya sambil berlari menyeberangi jalan.

Bukan hanya aku saja yang menoleh mendengar seruan darinya—orang-orang di sekitarku ikut memandangi kami, layaknya adegan drama remaja. Ia memberikan pakaian dan sepatu heels ungu, sebagai bagian dari standarisasi keluarga Serbian. Dari sekian banyak warna, mengapa harus ungu? Apa Nyonya Serbian penggemar ungu juga?

Segera aku berlari ke toilet restoran dan mengganti pakaian. Soal baju kantor? Tenang saja. Asisten pribadi orang itu sudah menungguku di depan toilet wanita. Semua perlengkapan yang kubutuhkan telah disiapkannya, termasuk buah tangan untuk sang nyonya. Rasanya benar-benar seperti memiliki asisten pribadi. Siapa lagi dalang di balik semua ini kalau bukan orang itu? Tanpa hadir pun, rencananya selalu berjalan sesuai keinginan. Gaun dan sepatu ini sudah siap untuk ikut bertempur—tak lupa dengan buah tangan yang ia persiapkan. Aku mencari foto nyonya di internet, untuk mengenali wajahnya di restoran ini.

"Nona, saya akan tunggu di luar restoran. Hubungi saya bila membutuhkan sesuatu."

"Terima kasih."

Setiap pengunjung wanita paruh baya tak luput dari pengamatanku. Tapi tak satu pun dari mereka mirip dengan sosok yang kucari. Hingga akhirnya seorang pelayan menghampiriku.

"Apa Anda Nona Erisa?"

"Iya."

"Orang yang membuat janji dengan Ibu Serbian?"

"Betul."

"Saya akan antarkan ke meja Anda. Silakan ikuti saya, Nona."

Lihat selengkapnya