"Gaya dress-nya tidak cocok. Ganti."
"Baik."
Sudah tiga kali berganti model, tidak ada yang cocok menurut Nyonya Serbian. Berbanding terbalik dengan julukan butik ini, terkenal di kalangan para borjuis. Siapa sebenarnya yang tidak cocok?
Apa gunanya seminggu lalu? Aku dan orang itu sudah dua kali melakukan fitting wedding dress. Tidak terpikirkan olehku, calon mertua akan turun tangan. Gedung, dekorasi, dan menu makanan, semua sudah menjadi selera Nyonya Serbian. Jadi, kupikir... yang satu ini bisa menjadi seleraku. Orang itu juga tidak keberatan. Ah... aku lupa akan peraturan tak tertulis. Apa aku terlalu merengek?
"Sekalian long dress one-shoulder, warna cream," ucapnya sambil menunjuk-nunjuk bahan.
"Tante, aku sudah bawa dress."
"Anggap saja hadiah dari tante."
Bahkan ke pesta ulang tahun anaknya saja menggunakan seleranya. Mengikuti keinginannya, tanpa bisa bersuara. Sekarang, aku sudah tidak percaya dengan kesetaraan.
"Erika, kita langsung ke rumah," perintahnya.
"Iya... tante."
Dering ponsel berbunyi, sebuah pesan masuk. Dari seseorang yang tak terduga. Seorang yang sangat ingin kudengar candanya. Mendengarnya berkicau karena kepeduliannya. Ayo kita ketemuan! begitu isi pesannya.
Sempat terlintas untuk mengundang mereka bertamu ke rumah orang itu. Setidaknya, orang itu bisa mengenal teman-temanku, begitu juga sebaliknya. Tapi kapan waktu yang tepat? Di tengah kesibukanku mempersiapkan pernikahan. Aku beberapa kali melirik Nyonya Serbian yang sibuk memainkan gawainya. Sisanya, memikirkan waktu yang tepat untuk pertemuan kami. Dan memandang keluar jendela mobil.
"Tante, ada yang ingin saya tanyakan."
Jawaban tak kunjung keluar dari Nyonya Serbian. Apa suaraku tak terdengar? Kuperhatikan lebih teliti. Ah... ternyata sepasang earbuds bluetooth terpasang pada kedua telinganya.
Kuputuskan untuk menyentuh sedikit lengannya. Tetapi siapa sangka, reaksinya bagai tersengat lebah. Sorotnya seakan mulai menghakimi. Mengorek-ngorek tas koleksi terbatasnya. Sebuah hand sanitizer disemprotkan pada bekas sentuhanku. Kedua tangannya melepas earbuds dan mulai tersenyum ceriah, layaknya berganti topeng.
"Ada apa, Erina?"
Sudah keberapa kali beliau keliru menyebutkan namaku. Tidak masalah kalau ada kesalah, aku bisa memakluminya.
"Bolehkah teman-temanku bertamu ke rumah tante?"
Ada jeda dalam percakapan kami. Cukup lama, sampai-sampai ingin kuurungkan pertanyaanku.
"Boleh saja. Kapan?"
"Kemungkinan Sabtu minggu depan, Tante."
Tatapan matanya hanya fokus ke arah gawai yang ia genggam. Sibuk memilih katalog model tas terbaru di sebuah platform belanja.
"Kenapa bukan hari pernikahan saja?" ucapnya tanpa menoleh ke arahku.