Rosalia berbalik. Terpaksa harus berbalik. Dia Menatap Karen duluan- yang juga tak tahu harus membantu apa- dan kemudian menatap Bu Ria dan Bara kembali. "Ayo.. Aku datang menjemputmu" Bara memanggilnya, sementara Bu Rizka memberinya senyum manis. Senyum yang membuatnya tertekan karena bila Dia pergi tanpa menghiraukan panggilan CEOnya itu, mungkin Oca terancam dua kali dipecat. Karen cuma bisa nyegir merasa bersalah, kalau ada Bu Ria, Karen tak bisa membantu isi hati Oca (kabur). “Kayaknya Lo harus kesana Ca” jelas Karen berbisik. Ya, Oca tak punya pilihan lain.
"Ternyata Rosa adalah Tunangannya Bara ya.." ucap Bu Rizka malu-malu. "Ya..." jawab Bara yang bahkan tak melihat Oca. Oca sampai didepan kedua orang itu. "Sore bu"
"Kamu kok tidak bilang, bertunangan dengan Pak Aldebaran dari Penerbit Alfa Centauri Press. Kalau begitu kamu tidak perlu magang loh" sahut bu Rizka.
“Hah?”
"Tidak, tidak. Ibu bercanda" jawab Bu Ria lagi sedikit terkikik. Sikap Ibu CEO tak biasanya. Apa ini karena Bara? Oca kembali melihat Bu Ria, dan Wanita tahu-tahu sedang memandangnya dari atas sampai bawah. Oca hanya bisa tersenyum tipis, sedikit nyegir. Sepertinya Dia sedang dibandingkan dengan Tunangannya itu.
Yaiya lah kami gak cocok.
Tapi kata-kata itu tak mungkin Dia katakan didepan Bu Ria. Oca lupa, ada Karen dibelakang, mungkin Dia bisa membantunya. Namun saat berbalik kebelakang Karen sudah tak ada. Ah.., sial. Dia lupa menyuruh Karen untuk tetap menunggunya. Karen bisa menjadi penolong diantara kekikukan yang tercipta diantara dirinya, Bu Ria dan Bara.
“Kamu sudah mau pulang kan?” tanya Bara dengan suara maskulin supernya.
“Ya, sedang bersiap” jawab Oca.
”Bagaimana dengan kerjaan tadi bersama Pak Brian? amankan?” Tanya Bu Ria. Benar, Dia pasti tahu Pak Brian memiliki Pelanggan Selebriti, Lara Prita. Sebelum menjawab, Oca melihat Bara. Sekilas Bara tahu Oca sedikit gugup. “Lumayan berjalan lancar bu” jawab Oca, kaku. Dia jadi bingung, karena ada Bara disini.
“Bagus. Kalau kamu ikut Brian, kamu pasti akan cepat beradaptasi. Dia memang galak, tapi Dia biasa memilih orang yang tepat untuk menjadi asistennya” kata-kata Bu Ria membuat Oca melambung, tersenyum sumringah. Deg! Dia baru sadar Bara juga memperhatikannya.
“Syukurlah, kalau kerjanya bagus. kalau begitu saya titip Tunangan Saya, Bu Ria” ucap Bara lagi, untung saja Bara membahas bagian lain. “Ah tentu Pak Bara. Saya akan menjaga Oca baik-baik disini. Semoga Dia juga cepat adaptasi.” Jelas Bu Ria. Benar-benar obrolan bisnis (seadanya) yang ingin mengakhiri percakapan.
“Ya..” jawab Bara, yang juga menunjukkan kesigapan bisnisnya, pada atasan Oca. Jawaban ini lebih pendek lagi, Bara yang paling ingin segera mengakhri pembicaraan ini.
"Kalau begitu Kami permisi dulu" Skakmat. Akhirnya Bara yang ingin segera pergi, melayangkan kalimat penutupnya
“Ya, salam untuk Ibu Natawilaga ya….” Ucap Bu Ria. “Ya Bu Ria” Jawab Bara, sangat santun, namun sebagai Pria tidak tetap terlihat maskulin. “Mari Bu..” ucap Oca juga. Bukan Bara saja, Oca juga juga ingin pergi dari sini. Bara menggenggam tangan Oca.
WHAT?!
Tangan itu masih menggenggam dan membawanya berjalan-tanpa beban. Pegangan tangan? Kening Oca membatu. Tiba-tiba kepalanya tegang, seperti ada ikat rambut yang kencang diatas kepalanya. Mau menolak, tapi tangannya mengabaikan perintah itu. Alhasil Bara membawanya sampai pintu mobilnya. "Masuklah," Suara lembut Bara seperti protokol tertentu yang menguasai syaraf motoriknya, yang buat tangannya membuka pintu mobil dan masuk SECARA OTOMATIS.
Kini Oca telah berada didalam. Dan baru tersadar, setelah melihat bekas tangan yang menggenggamnya.
BARUSAN ITU APA? KENAPA DIA TAK MENOLAK GENGGAMAN...?
Astaga. Harusnya kan Oca menolak saja! Itu yang ingin Dia sampaikan pada dirinya sendiri, namun tak Dia lakukan. Sebelum berpikir lagi, Bara ternyata sudah ada disampingnya, siap menyalakan mesin. “Tu..tunggu. Kita akan kemana?" Tanya Oca dengan mata menyeripit tegang. "Kita akan ke rumah Orangtuaku" jawab Bara dengan tenang.
"Rumah... siapa?" tanya Oca sekali lagi, rasanya kupingnya tidak salah dengar. “Kita akan ke rumah orangtuaku” jawab Bara lagi sembari menyalakan mobil. Mata Oca tengang membulat. “Kenapa rumah Orang tuamu?!”
"Aku perlu membawamu kesana" itu yang Dia katakan. Oca baru saja menata pikiran, hati, dan saraf motoriknya agar kembali seperti semula, namun pergi kerumah Orangtua Bara, enggak salah? Bukankah ke rumah orang tuanya artinya hubungan mereka kemungkinan besar akan melaju padahal yang serius?