Dibalik pintu kamar Eyang, punggung Bara masih terdiam. Oca juga ikut terdiam, karena lebih baik bila Bara yang memberinya pertanyaan lebih dulu. "Sebelum Kakek serangan, apa yang Kamu sampaikan padanya?" Bara berbalik dengan wajah yang dingin. Untuk pertama kali ini, muka Bara terlihat masam didepan Oca. Tidak salah lagi, Bara pasti mendengar semua pembicaraannya tadi dengan Eyang Brata. Dia hanya mau memastikannya dulu dari mulut Oca.
Pria tinggi itu kemudian melihat kekanan, dan kekiri. "Jangan jawab disini. Ayo, bicaranya ditempat lain saja" Tukasnya tiba-tiba. Dia berjalan duluan tanpa menunggu persetujuan Oca. Oca sendiri tak menjawab apa-apa. Entah kenapa Dia jadi mati kutu. Dia lebih baik mengikuti Bara, karena Bara pasti ingin mengobrol ditempat yang tidak dilalui siapapun.
Saat berjalan, Oca melihat Bu Rieke bersama Ayahnya Bara dari sudut ruang tengah. Dia mendengar Bu Rieke menjelaskan keadaan Eyang. Segera setelah itu, Mereka segera beranjak pergi kekamar Eyang. Bara seperti patung yang berjalan, tak memerdulikan kedua orangtuanya dan terlanjur berbelok kearah kiri. Hal itu membuat Oca tak berpaspasan dengan Orangtua Bara. Aneh juga, Bara tak melihat dan menyapa orangtuanya. Pria itu hanya berjalan, dan terus berjalan lagi menuju sudut rumah yang tertutup kaca. Akhirnya perjalanan Mereka berakhir pada sebuah pintu hitam berkaca.
Cklek!
Bara membuka pintu hitam berkaca itu. Oca ikut keluar dari selasar tadi. Dia dan Bara akhirnya pada selasar taman sepetak yang pinggirannya dipenuhi batu alam, termasuk selasar jalannya bersemen, Mereka melewati jalanan itu. Setelah beberapa langkah, Bara berhenti. Oca juga segera menghentikan langkahnya posisinya membelakinya punggung Bara. Bara masih terdiam, belum berbalik. “Aku tahu, kamu mengatakan sesuatu pada Eyang..” ucap Bara kemudian. Mendengar suara Bara yang serius, bulu kuduk Oca seketika merinding. Bara berbalik dan memasukkan kedua tangannya pada masing-masing saku celananya. Meskipun sikapnya seperti Gentleman yang tenang, berhadapan seperti ini sungguh menegangkan. “Kamu ingin bilang apa tadi?” ulangnya lagi. “Appa ya…?” saking takutnya Oca tak mau menatap Bara. “Apa yang kamu sampaikan pada Eyang?” ulang Bara lagi.
“A-apa… maksud Kamu?” Oca pura-pura tak mengerti, dan tak mau menatap Pria itu.
“Eyang Brata punya penyakit jantung. Kalau Kamu mengatakan sesuatu yang tidak-tidak..” Dia berhenti. Oca terpancing untuk kembali untuk menengadah menatap Pria itu. “Penyakit jantung...?” tanya Oca spontan tak mengedip. “Kamu pasti tidak hanya bilang tak ingin bertunangan kan? Ada hal lain.. Yang lebih kuat” duga Bara. “Itu….” Oca yang masih tak menatap Bara semakin membuat Pria itu yakin bahwa itulah yang di ucapkannya tadi.
“Kamu berniat keluar dari tanggung jawab?” tanya Bara. “Tanggung jawab.. tanggung jawab apa?” tanya Oca akhirnya kembali menatap Bara. Bara tersenyum kecut, menghentak ringan kakinya, dua langkah mendekati Oca. Oca panik, bingung, Bara seperti akan melakukan sesuatu padanya. “Kamu mau apa?” tanya Oca spontan mundur satu langkah.