Di India, ada aktivis bernama Kiran Bir Sethi. Ia seorang perempuan muda, cantik, dan dinamis yang menggalakkan program kampanye “I Can” dari timur sampai ke barat India khusus untuk anak-anak. Dari sekitar seribu anak yang telah ikut program ini mencatat perkembangan menarik: kesanggupan mereka atas segala sesuatu meningkat secara mengejutkan. Kepercayaan diri mereka bertumbuh dan kegembiraan mereka sebagai anak-anak tersulut.
Masih dari India, seorang pendidik, Sugat Mitra, membuat eksperimen: di sebuah desa pedalaman, tempat anak-anak memiliki seluruh keterbatasan akses pendidikan, ia meletakkan sebuah komputer aktif lengkap dengan internet berkecepatan tinggi. Aksi anak-anak itu direkam lewat kamera tersembunyi dan catatan waktu disertakan juga di dalam pengamatan. Hasilnya, dalam sekian waktu, seorang anak yang sama sekali awam komputer, tidak cuma bisa mengoperasikan komputer, tetapi juga bisa berselancar dengan internet untuk akhirnya mengajar teman-teman lainnya.
Kampanye pertama itu hasil dari sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat menular, termasuk semangat dan kegembiraan. Percobaan kedua bertolak dari keyakinan bahwa anak-anak memiliki kesanggupan mengajar dirinya sendiri. Dua soal ini adalah soal yang kadang-kadang tidak dirawat dengan baik oleh kurikulum yang sibuk menetapkan standar-standar resmi. Maka, banyaklah pencapaian resmi yang bernilai tinggi di sekolah, tetapi di dalam kenyataan bernilai rendah. Ada ilmu-ilmu yang menganggur dan ada yang belajar banyak, tetapi cuma memperoleh sedikit.
Lalu, terjadilah banyak lalu-lalang kepentingan. Di situ ada banyak pengangguran, di situ pula banyak lowongan pekerjaan. Sementara banyak orang kesulitan mencari pekerjaan, banyak perusahaan kesulitan mencari karyawan. Kini, sudah saatnya soal-soal yang tidak resmi itu dirawat dan dikembalikan ke tempatnya sebagai penyeimbang soal-soal resmi, yang ternyata tidak bisa bertugas sendirian. Bahwa manfaat sekolah telah lama terbukti, tak perlu diperdebatkan. Namun, bahwa sekolah baru menjangkau sebagian sisi, juga sudah terbukti. Sekolah mengembangkan satu hal, tetapi tidak boleh meruntuhkan hal lain. Misal, karena keresmiannya, apalagi karena kekeliruannya, lalu cuma menghasilkan sedikit pengetahuan walau sesungguhnya ia bisa menghasilkan lebih banyak. Pihak yang mestinya sanggup lebih cepat, tetapi terpaksa pelan, itu sungguh kelemahan sekolah yang harus diwaspadai. Sudah cuma memperoleh sedikit, lama, masih mahal pula adalah soal berikutnya yang harus diteliti.
Kini, telah ada penelitian yang jelas: bahwa hanya dengan mengampanyekan “Saya Bisa,” murid terpantik untuk melompat lebih jauh dari yang ia bayangkan sendiri. Cuma dengan melihat komputer, anak-anak memiliki kesanggupan mengajar dirinya sendiri. Jadi, sebetulnya betapa mudah tugas sekolah ketika harus mengajar anak-anak yang ternyata cerdas semacam ini.
Yang saya sebut sebagai mudah itu bukan berarti soal mudah, melainkan ia benar-benar mudah jika memiliki alat yang tepat. Misalnya, berkendara pasti lebih cepat ketimbang jalan kaki. Memiliki alat yang tepat agar cepat itulah yang membuat mudah karena apa jadinya kalau sesungguhnya kita ini mampu berjalan cepat, tetapi sengaja berlambat-lambat oleh sebuah alasan saja.[]