Warcross

Mizan Publishing
Chapter #2

Chapter 2

Aku melaju keluar dari Manhattan tanpa bersuara. Udara semakin dingin, dan salju mulai turun semakin deras, tetapi sengatan angin di wajah terasa sangat pas dengan suasana hatiku. Di berbagai tempat, perayaan mulai berlangsung di jalan- jalan, dan orang-orang yang mengenakan jersey merah serta biru melakukan hitung mundur waktu sekeras-kerasnya. Aku mengamati saat iring-iringan perayaan itu bergejolak lewat. Di kejauhan, setiap sisi Empire State Building terang benderang dan menampilkan gambar-gambar Warcross raksasa.

Ketika masih tinggal di panti asuhan, aku dapat melihat Empire State Building jika memanjat ke atap. Aku akan duduk di sana dan menonton selama berjam-jam saat gambar-gambar Warcross berotasi di sisinya, kaki cekingku berayun-ayun, sampai fajar tiba dan matahari membasuhku dengan sinar keemasan. Jika menatap cukup lama, aku bisa membayangkan diriku tampil di atas sana. Bahkan sekarang, aku merasakan sengatan kegairahan lama saat melihat gedung itu.

Skateboard listrikku berbunyi tit satu kali, menyadarkanku dari lamunan. Aku melihat ke bawah. Baterainya terkuras hingga tersisa satu garis terakhir. Aku menghela napas, memelan untuk berhenti, dan mengayunkan papan itu ke bahu. Kemudian, aku mencari-cari uang kecil di saku, dan menuju stasiun kereta bawah tanah pertama yang bisa kutemukan.

Temaram senja sudah memudar menjadi malam biru ke labu begitu aku tiba di depan Hunts Point yang bobrok di Bronx, kompleks apartemen yang kusebut rumah. Inilah sisi lain dari kota gemerlap itu. Grafiti menutupi satu sisi bangunan. Palang besi berkarat mengurung jendela-jendela lan tai pertama. Sampah ditumpuk di dekat tangga masuk utama gelas plastik, bungkus makanan cepat saji, botol bir pecah semuanya tersembunyi di balik lapisan tipis salju. Tak ada layar terang di sini, tak ada mobil otomatis mewah yang melintasi jalanannya yang rengkah. Bahuku terkulai, dan ka kiku terasa berat seperti timah. Aku bahkan belum makan ma lam, tapi pada saat ini, aku tidak dapat memutuskan mana yang lebih kuinginkan, makan atau tidur.

Jauh di ujung jalan, sekelompok tunawisma sedang bermukim, menebar selimut dan memasang tenda di pintu masuk sebuah toko yang dipalang. Kantong plastik melapisi bagian dalam pakaian lapuk mereka. Aku mengalihkan pandangan, terenyuh. Dulu mereka juga pernah menjadi anak- anak, mungkin ada keluarga yang mencintai mereka. Apa yang membawa mereka sampai ke titik ini? Akan seperti apa tampangku, jika berada di posisi mereka?

Akhirnya, aku memaksakan diri menaiki tangga melalui pintu masuk utama dan menyusuri koridor menuju pintu depan apartemen. Seperti biasa, koridor itu menguarkan bau kencing kucing dan karpet berjamur, dan melalui dinding-dindingnya yang tipis aku bisa mendengar tetangga saling berteriak, volume TV disetel maksimal, bayi yang sedang meraung-raung. Aku sedikit rileks. Jika cukup beruntung, aku tidak akan berpapasan dengan induk semangku, dengan kaus ku tangnya, keringatnya dan wajahnya yang merah. Mung kin setidaknya aku bisa tidur nyenyak sebelum harus menghadapinya besok pagi.

Pengumuman pengusiran yang baru telah terpasang di pintuku, tepat di tempatku mengoyak yang lama. Aku memandanginya sejenak, penat, membaca ulang isinya.

PENGUMUMAN PENGUSIRAN NEW YORKNAMA PENYEWA: EMIKA CHENBAYAR DALAM TEMPO 72 JAM, ATAU KOSONGKAN TEMPAT INI

Kenapa sih dia merasa perlu kembali dan memasang pengumuman baru, seolah-olah ingin memastikan semua orang di gedung ini mengetahuinya? Untuk mempermalukanku lebih jauh? Aku mengoyak pengumuman itu dari pintu, meremasnya di telapak tangan, lalu terdiam beberapa saat, menatap ruang kosong tempat kertas tadi digantung. Ada keputusasaan yang tidak asing di dalam diriku, luapan kepanikan yang berdetak kencang di dadaku, menggaungkan setiap hal yang harus kubayar. Angka-angka di kepalaku mulai berseliweran lagi. Sewa, makanan, tagihan, utang. Dari mana aku bisa mendapat uang dalam waktu tiga hari?

“Hei!”

Aku melonjak mendengar suara itu. Mr. Alsole, induk semangku, muncul dari apartemennya dan melangkah petantang-petenteng ke arahku, kernyitannya mirip ikan, rambut oranye tipisnya mencuat ke segala arah. Sekali melihat matanya yang merah memberitahuku bahwa dia sedang teler. Hebat. Pertengkaran lain. Aku tak sanggup menghadapi pertempuran lain hari ini. Aku meraba-raba mencari kunci, tetapi sudah terlambat jadi sebagai gantinya, aku menegapkan bahu dan mengangkat dagu.

“Hai, Mr. Alsole.” Aku punya cara tersendiri mengucapkan namanya seperti Mr. Asshole.

Dia mengernyit ke arahku. “Kau menghindariku sepanjang minggu.”

“Tidak sengaja,” aku berkeras. “Sekarang, setiap pagi aku be kerja sebagai pramusaji, di resto kecil di ujung jalan, lalu—”

“Memangnya masih ada yang butuh pramusaji?” Dia menyipit ke arahku dengan curiga.

“Yah, tempat itu butuh. Dan, punya satu-satunya pekerjaan yang tersedia. Tak ada lagi yang lain.”

“Katamu kau bakal membayar hari ini.”

“Aku tahu aku pernah bilang begitu.” Kutarik napas dalam- dalam. “Aku bisa mampir nanti untuk membahas—”

“Apa aku bilang nanti? Aku minta sekarang. Dan, kau perlu menambahkan seratus dolar lagi dari jumlah utangmu.”

“Hah?”

“Tarif sewanya naik bulan ini. Di seluruh blok. Banyak yang mengantre untuk tinggal di sini, tahu?”

“Itu tidak adil,” kataku, kemarahanku meningkat.

“Kau tak boleh begitu kau baru saja menaikkannya!”

“Mau tahu apa yang namanya tidak adil itu, Nona Muda?” Mr. Alsole menyipitkan mata ke arahku sambil bersedekap. Gerakan itu meregangkan bintik-bintik di kulitnya. “Fakta bahwa kau menumpang gratis di gedungku.”

Aku mengangkat kedua tangan. Darah mendesir ke pipiku. Bisa kurasakan baranya. “Aku tahu—hanya saja—”

“Bagaimana dengan note? Kau punya lebih dari lima ribu?”

“Kalau punya, pasti sudah kuberikan kepadamu.”

“Kalau begitu, tawarkan sesuatu yang lain,” lepehnya. Dia mengacungkan jarinya yang mirip sosis ke skateboard-ku. “Jika kulihat benda itu sekali lagi, bakal kupalu sampai hancur. Jual dan serahkan uangnya padaku.”

“Harganya paling lima puluh dolar!” Aku mundur selangkah. “Dengar, aku akan melakukan apa saja, sumpah, aku janji.” Kalimat itu terlontar dari mulutku dalam racauan campur aduk. “Cukup beri aku beberapa hari lagi.”

Lihat selengkapnya