Warcross

Mizan Publishing
Chapter #3

Chapter 3

Aku masih ingat kapan persisnya Hideo Tanaka mengubah hidupku. Waktu itu usiaku sebelas, dan Dad baru meninggal beberapa bulan. Hujan menggempur jendela kamar tidur yang ku tempati bersama empat orang lain di panti asuhan. Aku sedang berbaring di tempat tidur, dan sekali lagi, tak sanggup memaksa diri untuk bangun dan pergi ke sekolah. Pekerjaan rumah yang belum selesai tergeletak berserakan di selimutku, masih di sana dari malam sebelumnya, saat aku tertidur sambil memandangi halaman-halaman kosong. Aku memimpikan rumah, Dad yang menggoreng telur dan panekuk yang tenggelam dalam sirop, rambutnya masih berkilauan karena glitter dan lem, tawa lantangnya yang tidak asing memenuhi dapur dan melayang ke luar melalui jendela kami yang terbuka. Bon appètit, mademoiselle! seru ayahku, dengan wajah pemimpinya. Sementara, aku akan memekik girang ketika dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku.

Kemudian aku terbangun, dan pemandangan tadi pun lenyap, meninggalkanku di rumah yang aneh, gelap, dan sepi.

Aku bergeming di tempat tidur. Aku tidak menangis. Aku sama sekali tidak menangis sejak Dad meninggal, bahkan di pemakaman. Air mata apa pun yang mungkin kutumpahkan tergantikan oleh keterkejutan saat mengetahui berapa jumlah utang yang dikumpulkan Dad. Saat aku tahu dia suka menyelinap mengikuti forum judi online selama bertahun-tahun. Bahwa dia tidak menjalani perawatan di rumah sakit karena berusaha melunasi utangnya.

Jadi, aku melewatkan pagi itu seperti caraku melewatkan setiap harinya selama beberapa bulan terakhir, tersesat dalam halimun kesunyian dan kesenyapan. Emosi telah lama lenyap di balik rongga kabut di dadaku. Aku menggunakan setiap waktu terjagaku dengan memandang menerawang ke kehampaan—ke arah dinding kamar, papan tulis putih di kelas, bagian dalam loker, piring-piring berisi hidangan hambar. Raporku dihiasi lautan warna merah. Rasa mual konstan mencuri nafsu makanku. Tulang-tulangku mencuat tajam di pergelangan tangan dan sikuku. Lingkaran hitam menghiasi mataku, sesuatu yang semua orang sadari, kecuali diriku.

Toh, untuk apa aku peduli? Ayahku telah tiada dan aku merasa sangat capek. Mungkin kabut di dadaku akan mengembang, semakin pekat, sampai akhirnya menelanku, dan aku juga akan lenyap. Jadi, aku pun berbaring meringkuk seperti janin, mengamati hujan mendera jendela, angin menarik-narik siluet dahan pohon, bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan pihak sekolah untuk menyadari bahwa aku mem bolos lagi.

Radio jam di kamar—satu­satunya benda di kamar, se lain ranjang-ranjang kami—menyala, sepotong teknologi lungsuran yang didonasikan ke panti asuhan dari pusat Goodwill. Salah satu gadis lain tidak repot-repot mematikannya ketika alarmnya berbunyi. Aku mendengarkan setengah hati saat tersiar berita mengenai kondisi perekonomian negeri, demonstrasi di kota-kota besar dan di pedesaan, polisi yang terlalu banyak bekerja gara-gara meningkatnya kejahatan, evakuasi di Miami dan New Orleans.

Kemudian, beritanya berganti. Berita khusus yang berlangsung selama satu jam pun dimulai, membahas tentang pemuda bernama Hideo Tanaka. Usianya masih empat belas tahun waktu itu, masih belum biasa menjadi sorotan. Saat prog ramnya berlanjut, aku mulai menyimak.

“Ingatkah Anda tentang dunia sebelum ponsel pintar diciptakan?” tanya si penyiar. “Ketika kita terhuyung-huyung di tepian pergeseran besar, ketika teknologi belum sepenuhnya tiba, dan butuh satu perangkat revolusioner untuk mendorong kita semua melewati tepian? Yah, tahun lalu, bocah berusia tiga belas tahun, Hideo Tanaka, mendorong kita melewati tepian yang sama sekali baru.

“Dia melakukannya dengan menciptakan kacamata nirkabel tipis dengan gagang logam dan earphone lipat. Jangan salah. Kacamata itu tidak seperti goggle yang pernah kita lihat sebelumnya, jenis yang kelihatannya seolah-olah ada sebongkah batu bata raksasa yang terpasang di wajahmu. Bukan, kacamata ultraramping ini disebut NeuroLink, dan dikenakan seperti layaknya kacamata biasa. Kami memiliki kacamata terbaru di studio sekarang ini”—si penyiar berhenti sejenak untuk mengenakannya—“dan kami janji, ini benda paling sen­ sasional yang pernah kami coba.” NeuroLink. Aku pernah mendengarnya disebut-sebut di berita. Sekarang, aku menyimak saat program radio itu menjabarkannya untukku.

Untuk waktu yang lama, dalam rangka menciptakan lingkungan realitas virtual yang realistis, kau harus memvi sualkan world sedetail mungkin. Ini membutuhkan banyak uang dan tenaga. Tapi tidak peduli seberapa bagus efeknya, kau tetap bisa mengetahui—jika melihat dengan cukup jeli—bah wa itu tidak nyata. Ada seribu gerakan kecil di wajah manusia setiap detiknya, seribu geletar daun yang berbeda di sebatang pohon, satu juta hal kecil yang dimiliki dunia nyata tetapi tidak ada di dunia maya. Benakmu mengetahuinya secara tak sadar—ada saja sesuatu yang tampak melenceng, bahkan ketika kau tidak bisa mengidentifikasi apa yang salah.

Nah, Hideo Tanaka memikirkan solusi yang lebih mudah. Dalam rangka menciptakan dunia maya yang tanpa cacat, kau tidak perlu menggambar pemandangan tiga dimensi paling realistis dan paling mendetail yang pernah ada.

Kau hanya perlu memperdaya audiensnya untuk berpikir bahwa itu nyata.

Coba tebak apa yang paling hebat dalam melakukannya? Otakmu sendiri.

Lihat selengkapnya