Paris, Musim Semi, 2024. Langit bersih tanpa awan, dan aroma bunga magnolia menyelinap pelan ke dalam jendela loteng kecil itu. Di balik kaca yang agak buram, seorang waria bernama Alya duduk di meja kayu tua, menulis surat terakhir dalam cahaya mentari pagi. Di belakangnya, berdiri lelaki yang sudah bersamanya hampir separuh hidupnya—Tio, dengan rambut mulai beruban, tapi mata yang masih menyimpan cinta sama seperti dulu.
“Aku takut lupa bentuk tulisan tanganku,” gumam Alya pelan, suaranya gemetar tapi tetap utuh.
Tio mendekat, meraih bahu Alya, dan berkata, “Tulisanmu yang membuat dunia membaca siapa kamu. Dunia gak akan lupa.”
Di meja itu ada tiga benda: selembar foto lama dari masa SMA mereka, sebilah kalung emas kecil dengan huruf "A", dan sebuah tiket kereta ke Marseille yang tak jadi mereka gunakan bertahun-tahun lalu—tiket yang dulu seharusnya jadi pelarian dari semua penghakiman.
Tapi mereka tak kabur. Mereka bertahan. Dan kisah itu dimulai dari jauh sebelum Paris mengenal nama Alya.
---
Jakarta, 2007.
Namanya Andre. Anak laki-laki pendiam yang duduk di bangku paling belakang, selalu mencatat rapi, dan lebih suka menggambar wajah perempuan di pojok buku tulisnya. Setiap kali teman-teman sekelas ribut soal sepak bola atau game online, Andre hanya diam, memeluk erat identitas yang ia sendiri belum tahu cara menyebutnya.
Yang tahu hanya satu orang: Tio.
Tio, si anak populer, jago main basket, dan tanpa alasan jelas selalu memilih duduk sebangku dengan Andre sejak SD. Mereka bagai dua dunia yang seharusnya tak pernah bertemu—tapi nyatanya, mereka menyatu. Dalam diam. Dalam tawa kecil. Dalam rahasia yang mereka bagi dari kelas ke kelas, tahun ke tahun.
Tak ada yang menyangka persahabatan itu akan jadi sesuatu yang lebih.
Saat SMP, Tio pernah bertanya, “Lo pernah ngerasa lo bukan cowok?” Andre kaget. Itu pertanyaan yang selama ini hanya ia tanyakan ke cermin. “Aku nggak tahu,” jawab Andre waktu itu. “Tapi kadang... aku ngebayangin hidup jadi cewek itu kayak... lebih damai.”