Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #3

Luka Yang Tak Terlihat

Usia Andre perlahan bergeser. Tahun demi tahun berlalu sejak hari pertama ia duduk sebangku dengan Tio. Kini mereka duduk di bangku kelas empat, dan ada yang mulai berubah dalam diri Andre—sesuatu yang tak ia mengerti, namun terasa jelas mengganjal di hati.


Ia tak suka bermain bola seperti anak laki-laki lain. Ia lebih nyaman duduk di bangku taman, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran, atau merangkai boneka kertas yang ia buat diam-diam di rumah. Ketika anak-anak lelaki lain membahas mobil dan robot, Andre lebih tertarik dengan pita warna-warni dan majalah busana milik sepupunya.


Namun semua itu ia simpan dalam diam. Ia tak pernah bercerita, bahkan kepada Tio.


Bukan karena ia tak percaya Tio. Tapi karena rasa takut yang tak bisa ia jelaskan. Takut ditertawakan. Takut disebut aneh. Takut kehilangan satu-satunya orang yang membuat hari-harinya terasa berarti.


Setiap pagi, Andre berdiri di depan cermin sebelum berangkat sekolah. Ia memandangi wajahnya sendiri dan bertanya dalam hati, “Kenapa aku nggak seperti anak laki-laki lain?”


Terkadang ia mencoba menata rambutnya seperti gaya perempuan yang ia lihat di TV. Ia suka membayangkan dirinya memakai rok, berjalan di bawah sinar matahari, merasa ringan dan bebas. Tapi begitu suara ibu memanggil, ia buru-buru merapikan rambut dan kembali menjadi Andre yang dikenal dunia luar.


Ada luka kecil yang tumbuh dalam dirinya. Luka itu tak berdarah, tak terlihat, tapi terasa nyata. Luka karena menolak diri sendiri setiap hari. Luka karena terus-menerus memaksa senyum di wajah yang lelah menyembunyikan siapa dirinya.


Di sekolah, Andre tetap berteman akrab dengan Tio. Mereka masih duduk sebangku, masih saling berbagi bekal dan tawa. Tapi kini Andre lebih banyak diam. Ada hal-hal yang mulai ia simpan rapat-rapat, meski Tio kadang menatapnya dengan cemas.


“Ndre, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kok sering bengong?”


Andre hanya menggeleng. “Enggak, capek aja.”


Tio mengangguk, tapi raut wajahnya tetap khawatir. Ia tahu Andre berubah. Ia tahu sahabat kecilnya menyimpan sesuatu. Tapi ia tak tahu apa.


Di rumah, Andre semakin sering masuk kamar lebih awal. Ia mengunci pintu dan duduk di lantai, menggambar dirinya dengan rambut panjang dan pakaian cantik. Setiap goresan pensil adalah pelarian. Setiap warna adalah pengakuan yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.


Lihat selengkapnya