Hari itu Minggu. Matahari Jakarta menyengat, tapi tawa anak-anak tetap memenuhi halaman kompleks perumahan. Di lapangan kecil yang dibatasi pagar besi dan deretan motor tetangga, anak laki-laki bermain bola dengan semangat.
Tio ada di antara mereka, berteriak riang, mengejar bola seperti tak ada beban hidup. Sepatu ketsnya penuh debu, rambutnya basah karena keringat. Ia sesekali melirik ke arah jendela rumah Andre, berharap sahabatnya keluar.
Namun Andre tak muncul.
Di dalam rumah, Andre duduk bersila di kamar sepupunya, Nayla. Mereka sibuk mendandani boneka. Nayla menyisir rambut boneka barbie, sementara Andre memakaikannya gaun merah kecil dari kain perca.
“Aku suka yang ini,” kata Andre sambil menunjukkan baju renda dengan pita kecil di tengah.
Nayla tertawa. “Kamu kayak cewek beneran deh, Dre.”
Andre hanya tersenyum. Dalam hati, ada rasa aneh yang sulit ia jelaskan. Ia suka momen seperti ini. Suka ketenangan yang datang saat ia bisa jadi dirinya sendiri, meski hanya sebentar.
Ibunya masuk membawa camilan. Tatapan ibunya jatuh pada boneka di tangan Andre. Wajahnya mengeras sejenak, lalu berpaling tanpa berkata apa-apa.
Setelah ibunya pergi, Andre memeluk boneka itu pelan. Ia tahu ibunya tidak suka. Tapi bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa boneka ini membuatnya merasa damai?
Sore harinya, Tio datang mengetuk pintu.
“Ndre, kenapa enggak main bola sama kita?”
Andre berdiri di depan pintu dengan kaos tipis dan celana pendek. Keringat belum mengucur dari tubuhnya. Ia hanya mengangkat bahu, “Capek.”
Padahal ia hanya tak ingin dipaksa jadi ‘laki-laki’ seperti yang mereka mau. Ia takut tertawa saat yang lain marah. Takut menghindari bola dan dipanggil ‘lembek’ lagi.
Tio menghela napas. “Besok ikut ya. Kita tanding lawan anak komplek sebelah.”