Malam itu sunyi. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan menemani Andre di dalam kamar. Lampu utama sudah dimatikan sejak tadi. Cahaya redup berasal dari lampu meja belajar yang tertutup sebagian oleh tumpukan buku. Di balik selimut, Andre duduk bersandar sambil memeluk bantal kecil.
Di tangan kirinya, sebuah buku harian dengan sampul biru tua. Masih polos, tak ada stiker atau hiasan. Buku itu ia beli diam-diam di koperasi sekolah, dengan uang jajan yang ia kumpulkan selama seminggu.
Malam ini, untuk pertama kalinya, ia akan menulis sesuatu yang tak pernah bisa ia ucapkan kepada siapa pun. Bahkan kepada Tio.
Tangan Andre gemetar saat membuka halaman pertama. Ia mengambil pulpen warna hitam, membuka tutupnya perlahan, lalu menghela napas panjang.
Di halaman itu, ia mulai menulis.
hari ini aku ngerasa pengin banget jadi cewek. entah kenapa. aku suka banget liat cewek-cewek pake rok dan jalan dengan rambut panjang. aku juga pengin begitu. tapi aku takut.
Tulisan itu kecil, hampir seperti bisikan. Huruf demi huruf ia bentuk dengan hati-hati, seolah takut jika kata-kata itu terlalu besar, maka dunia akan mendengarnya dan marah.
Aku bukan cowok normal. Tapi aku juga gak bisa bilang aku cewek. Tapi... aku lebih suka kalau aku bisa jadi cewek.
Andre berhenti menulis. Ia menatap tulisannya lama. Hatinya berdebar kencang, seolah baru saja melakukan kesalahan besar. Ia menutup buku itu cepat-cepat, menyelipkannya di bawah bantal.
Tapi di detik yang sama, air mata turun tanpa bisa ia tahan.
Tangisnya sunyi. Hanya sesekali ia menarik napas dalam, mencoba menahan suara. Di luar kamar, semua orang sudah tidur. Rumah terasa seperti dunia asing, dan kamar kecilnya adalah satu-satunya tempat yang bisa mengerti dirinya.
Beberapa menit kemudian, ia mengambil kembali buku harian itu. Kali ini ia menggambar hati kecil di sudut halaman, lalu menulis satu nama:
alya.