Pagi itu, suasana halaman sekolah tampak biasa saja. Anak-anak berlarian sambil membawa tas dan kotak bekal. Bel berbunyi nyaring, memanggil para siswa untuk masuk ke kelas. Andre berjalan pelan di antara keramaian, sambil memeluk buku gambarnya erat-erat.
Langkah kakinya ringan, tapi cara jalannya—kata orang—terlalu gemulai. Ia tidak menyadarinya. Bagi Andre, itulah cara ia merasa nyaman saat melangkah. Tapi dunia tak pernah segampang itu menerima sesuatu yang berbeda.
Di koridor menuju kelas, sekelompok anak laki-laki yang sedang berdiri di dekat papan mading menoleh. Salah satu dari mereka, Rangga, memutar bola matanya dan berbisik keras, sengaja agar terdengar.
“Liat deh. Jalan aja kayak cewek. Mau ikut lomba fashion show kali.”
Anak-anak lain tertawa. Suara mereka terdengar nyaring, seperti cambuk yang mengenai tubuh Andre tanpa ampun.
Andre menunduk, mempercepat langkah. Tapi langkahnya justru makin jadi bahan olok-olok.
“Eh, jangan-jangan dia udah punya lipstick di tasnya.”
Tawa makin ramai.
Andre tak berkata apa-apa. Ia sudah terbiasa diam. Sudah sering ia mengunci mulut dan membiarkan semuanya lewat, walau di dalam hati, kata-kata itu tertancap dalam. Tapi hari itu berbeda.
Tiba-tiba, suara berat dan lantang memotong tawa mereka.
“Kamu semua kenapa sih? Enggak ada kerjaan lain selain ngejek orang?”
Tio muncul dari balik tangga, wajahnya kesal, tangan mengepal. Ia berdiri di depan Andre, seperti perisai hidup.
Rangga tertawa sinis. “Ih, sahabatnya ikut-ikutan. Jangan-jangan dia juga bencong.”