Sejak kejadian di gudang sekolah, Andre merasa pikirannya tidak pernah tenang. Malam itu pulang ke rumah, ia terus menatap langit-langit kamarnya dalam gelap. Cahaya dari lampu lorong menembus celah pintu, tapi semua terasa hampa.
Ia memeluk bantal kecil sambil mencoba mengingat perasaan saat bibir mereka bersentuhan. Bukan soal kejadian itu saja, tapi tentang getar yang muncul sesudahnya. Perasaan aneh yang bercampur antara nyaman dan takut.
Apa itu cinta?
Atau hanya rasa bingung karena terlalu dekat?
Pagi harinya, Andre duduk termenung di meja makan. Ibunya sibuk di dapur, ayahnya membaca koran. Tak satu pun menyadari bahwa ada badai dalam kepala anak mereka.
“Ayah, kenapa laki-laki bisa suka sama laki-laki?”
Pertanyaan itu tidak keluar dari mulutnya. Ia hanya membayangkannya berkali-kali. Tapi nyatanya, bibirnya tak sanggup bersuara.
Di sekolah, ia mencoba bersikap biasa. Tapi setiap kali bertemu Tio, ia tak bisa menatap matanya lama-lama.
Tio tetap seperti biasa. Tak mengungkit apa pun. Tapi senyumannya terasa berbeda. Lebih pelan. Lebih tenang. Seperti ingin berkata sesuatu tapi memilih menunggu.
Saat istirahat, mereka duduk di tempat biasa. Tapi tidak banyak bicara. Angin semilir menyibak rambut Andre, dan ia mencatat dalam hati bahwa detik itu pun terasa ganjil.
Malamnya, Andre membuka kembali buku hariannya.
hari ini aku bingung. banget. aku suka Tio. atau mungkin sayang. tapi kalau cowok suka cowok itu gay kan. terus kalau aku ngerasa aku bukan cowok, apa aku masih bisa dibilang gay?
Tulisan itu berhenti di tengah. Tangannya gemetar. Ia merasa seperti terjebak di lorong tanpa ujung.