Rumah sore itu sunyi seperti biasa. Kipas angin tua berputar lambat di ruang tamu, menebarkan suara mendesah yang menenangkan. Ibunya sedang ke pasar membeli kebutuhan dapur, ayahnya masih di kantor. Kakaknya belum pulang dari tempat les. Hanya Andre yang ada di rumah, sendirian, dan itu artinya: waktunya Alya bernapas.
Langkah kakinya menyusuri lorong dengan hati-hati. Ia tahu posisi ubin yang berderit, mana yang bisa dilangkahi, mana yang harus ditahan napas saat melintas. Semua sudah ia pelajari bertahun-tahun. Ini bukan kali pertama, tapi hatinya tetap berdebar seperti malam pertama seseorang jatuh cinta.
Pintu kamar orang tuanya sedikit berat saat dibuka. Ruangan itu beraroma kapur barus dan bedak dingin. Lemari besar berdiri kokoh di sudut, pintunya sedikit retak, mengintipkan isi penuh rahasia. Andre berdiri di depannya dan menarik daun pintu ke kanan. Deritnya terdengar tajam, membuatnya menggigit bibir.
Di antara baju-baju pesta dan kebaya, matanya tertumbuk pada satu gaun: biru pastel dengan potongan sederhana dan pita manis di bagian pinggang. Ia langsung tahu, itu yang ia cari. Dengan tangan gemetar, ia menariknya keluar dan membawanya ke kamar. Tapi kali ini ia membawa lebih dari sekadar gaun. Ia membawa harapan.
Pintu kamarnya dikunci rapat. Jendela ditutup tirai tebal. Cermin besar yang biasanya ia hindari, kini berdiri tegak di depannya. Tanpa banyak kata, ia melepaskan kaus dan celana, lalu mengenakan gaun itu dengan pelan. Kancing-kancing kecil di punggung dibiarkan terbuka. Tak masalah. Bukan soal kesempurnaan, tapi soal perasaan.
Saat ia berdiri di depan cermin, waktu seakan berhenti. Ia tidak melihat Andre. Ia melihat Alya. Seorang gadis muda dengan mata teduh dan sorot penuh harap. Gaun itu memang kebesaran, tapi tetap jatuh anggun di tubuh kurusnya.
Ia membetulkan letak kerah. Mengangkat rambut pendeknya seolah mengikat sanggul. Lalu ia tersenyum. Bukan senyum malu-malu. Tapi senyum lega. Seolah berkata, "Akhirnya, aku bertemu diriku sendiri."
Air matanya jatuh. Tapi bukan sedih. Justru sebaliknya. Tangis kecil itu seperti sambutan hangat. Seperti seseorang yang lama terpisah akhirnya bisa pulang.
Ia berputar pelan, membiarkan gaun itu mengembang. Ia mengambil sisir dan mulai menyisir rambut ke belakang, membentuk garis imajiner poni. Setiap gerakan kecil seperti tarian. Tiba-tiba saja kamarnya berubah menjadi panggung. Dan ia menjadi tokoh utama dalam cerita yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.