Enam tahun sudah berlalu sejak Andre dan Tio pertama kali duduk sebangku di SD. Sekarang mereka duduk di kelas sepuluh SMA, sekolah negeri besar di pinggiran Jakarta Selatan. Wajah-wajah mereka telah berubah, tubuh tumbuh lebih tinggi, suara lebih berat, tapi satu hal tetap sama: Tio selalu ada di samping Andre.
Namun tidak semua hal tumbuh searah. Dalam diri Andre, pergolakan semakin nyata. Ia mulai menyebut dirinya Alya saat sedang sendiri, menulis nama itu dalam catatan kecil yang disembunyikan di balik buku biologi. Tapi di sekolah, ia masih Andre, masih mengenakan seragam laki-laki, masih berjalan di antara tatapan yang menilai.
Kelas olahraga selalu jadi mimpi buruk. Andre tidak pernah pandai olahraga, dan ia tidak berusaha menutupi rasa tak nyaman saat disuruh berlari, push-up, atau main bola. Gerakannya luwes, tidak kaku, tapi bukan luwes yang dianggap wajar di lingkungan laki-laki.
Hari itu, langit Jakarta kelabu sejak pagi. Suasana di lapangan sekolah basah karena gerimis malam sebelumnya. Mereka dipanggil berbaris oleh Pak Hartono, guru olahraga yang dikenal tegas dan suka bicara keras.
Andre berdiri di barisan paling ujung, seperti biasa. Ia mencoba menyembunyikan rasa tak nyaman dalam diam. Sepatu olahraganya basah, dan ia merasa hawa pagi lebih dingin dari biasanya.
“Lari keliling lapangan dua kali! Ayo cepat, jangan kayak nenek-nenek!” teriak Pak Hartono.
Andre mulai berlari, tapi baru setengah putaran, ia sudah kehabisan napas. Nafasnya tersengal, kakinya pegal. Anak-anak lain mulai menyalip. Di tengah putaran kedua, ia terhuyung dan berhenti sebentar di dekat tiang basket.
Pak Hartono meniup peluit keras-keras.
“Lagi-lagi kamu! Apa kamu nggak punya tenaga? Malu sama anak perempuan kalau begini terus!”
Beberapa anak tertawa kecil. Ada yang menirukan cara jalan Andre yang dianggap terlalu lemah. Andre menunduk, matanya panas. Tapi ia diam.
Setelah sesi lari selesai, mereka diminta push-up dan sit-up. Andre hanya bisa melakukan lima push-up dengan gemetar, dan sit-up-nya tidak selesai penuh.