Pagi itu berbeda. Matahari baru saja naik di atas atap rumah, tapi Andre sudah duduk di depan meja belajarnya, menatap cermin kecil yang selama ini hanya digunakan untuk sekadar merapikan rambut. Tapi hari ini, ia membuka laci paling bawah, mengambil benda kecil yang selama ini ia sembunyikan: concealer.
Satu olesan kecil di bawah mata. Ditepuk pelan dengan jari manis. Lalu di sisi hidung, dan sedikit di dagu. Wajahnya tampak lebih rata, lebih bersih, dan... lebih tenang.
Andre menatap bayangannya. Ia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bentuk wajahnya. Rambutnya memang belum terlalu panjang, tapi sudah cukup untuk menutupi sebagian pipi. Ia merapikannya dengan sisir kecil, lalu mengambil jepit rambut warna cokelat tua.
Tak ada yang mencolok. Tapi perubahan itu terasa besar.
Di sekolah, Andre tetap mengenakan seragam laki-laki. Tapi ia mulai memilih kemeja yang paling longgar, dan celana yang jatuhnya sedikit lebih ramping. Ia berdiri di depan cermin kamar mandi sekolah sebelum masuk kelas, memastikan concealer tidak luntur.
Tak ada yang berkata langsung, tapi beberapa teman mulai memperhatikan. Ada yang saling berbisik di lorong. Ada pula yang hanya melirik cepat lalu berpura-pura tak melihat.
Namun Andre tetap berjalan. Kepalanya tegak, langkahnya tenang. Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya sejak hari itu di lapangan. Sejak pelukan Tio di tengah gerimis.
Kini, setiap pagi ia duduk lebih lama di depan cermin. Kadang hanya lima menit, kadang hampir setengah jam. Ia mencoba gaya rambut baru. Mengikat bagian samping ke belakang. Atau membiarkan poni jatuh menutupi alis.
Malam hari, ia mulai menonton video tutorial di ponsel. Pelan-pelan ia belajar tentang bentuk wajah, tentang cara merapikan alis, tentang teknik sederhana agar wajah terlihat lebih lembut.
Suatu sore, Tio datang ke rumahnya. Mereka duduk di teras, makan bakwan goreng buatan ibu Andre.