Langit malam itu dipenuhi gemuruh kembang api. Jakarta menyala dalam ribuan warna yang meledak silih berganti, menggema dari segala penjuru. Di antara semua itu, di sebuah atap rumah di pinggiran kota, dua anak remaja duduk berdampingan. Mereka tidak bersorak, tidak merekam video seperti kebanyakan orang. Mereka hanya diam, menatap langit yang pecah oleh cahaya.
Andre bersandar di dinding beton pendek yang mengelilingi atap. Ia mengenakan hoodie gelap dan celana training, tapi wajahnya sedikit berbeda malam ini. Ada sentuhan lip balm di bibirnya, dan rambut yang dibiarkan jatuh ke sisi wajah, lembut dan pelan menari tertiup angin.
Tio duduk di sampingnya, dengan jaket jeans usang yang sudah lama dipakainya sejak SMP. Di tangannya ada termos kecil berisi cokelat panas yang mereka buat sendiri dari dapur bawah.
“Ramai banget ya,” kata Tio pelan.
Andre mengangguk. “Tapi sepi juga.”
“Sepi gimana?”
“Sepi di kepala. Kayak semuanya ribut, tapi dalam hati aku malah diam.”
Tio menatapnya lama. Lalu mengangguk.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “malam kayak gini, semua orang pengen mulai yang baru.”
Andre tersenyum tipis. “Mulai baru ya... Andai gampang.”
Tio lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah kertas kecil yang dilipat rapi. Ia menyerahkannya ke Andre.