Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #20

Hari Dimana Dunia Mulai Melawan

Hari pertama kuliah seharusnya jadi momen penuh semangat dan harapan. Tapi bagi Alya, hari itu lebih terasa seperti ujian. Ia bukan hanya melangkah ke kampus baru, tapi juga ke dunia yang belum tentu siap menerima siapa dirinya.


Pagi itu, ia berdiri lama di depan lemari. Tangannya menyentuh kain satu per satu, menimbang dan menolak. Ia ingin tampil seperti dirinya—seperti Alya—namun tetap aman dari sorotan tajam mata yang bisa menusuk seperti pisau.


Akhirnya, ia memilih setelan netral. Kaos abu-abu dengan jaket oversize krem dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat setengah, menyisakan poni tipis yang ia rapikan dengan jari. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup membuatnya merasa seperti dirinya sendiri.


Di meja rias kecilnya, ia mengoleskan sedikit concealer di bawah mata. Hanya untuk menyamarkan lelah, bukan untuk menyembunyikan siapa dirinya. Lip balm merah muda menambah rona pada bibirnya yang pucat.


Alya menarik napas panjang sebelum melangkah ke luar kamar. Ibunya sudah duduk di ruang makan, menyajikan nasi uduk dan telur balado. Ia tersenyum hangat melihat putrinya. Tak ada kata, hanya anggukan kecil yang menenangkan.


Di luar, Tio sudah menunggu di motor matic-nya. Ia mengenakan jaket denim dan celana hitam, membawa dua helm. Alya menaiki boncengan belakang tanpa banyak bicara. Perjalanan menuju kampus mereka terasa seperti menuju medan perang. Di setiap lampu merah, Alya memejamkan mata, mencoba mengatur napas.


Setibanya di gerbang Universitas Negeri Jakarta, keramaian menyambut. Ratusan mahasiswa baru berkumpul, sebagian sibuk berfoto, sebagian bingung mencari kelompok orientasi.


Alya turun dengan hati berdebar. Tangannya menggenggam map berisi berkas-berkas, dan di dalamnya, kartu identitas mahasiswa—masih atas nama ‘Andre’. Tapi ia tahu, tak ada identitas yang lebih kuat dari apa yang tertanam di hatinya.


Langkah pertamanya memasuki halaman kampus terasa berat. Tatapan-tatapan mulai berdatangan. Beberapa hanya melirik cepat, tapi beberapa lain melayangkan pandang panjang penuh pertanyaan.


Ia mendengar bisik-bisik.


“Itu cowok ya?”


“Cewek bukan, cowok juga bukan.”


Tio berjalan di sampingnya, memandangi mereka satu per satu dengan tatapan tajam. Tapi Alya hanya menatap lurus ke depan. Langkahnya tidak goyah. Ia sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Hari ini bukan saatnya mundur.


Lihat selengkapnya