Sabtu pagi yang sejuk di Jakarta. Matahari menyelinap malu-malu di balik awan tipis. Udara belum terlalu panas. Jalanan masih sepi saat Alya dan Tio naik ojek online menuju sebuah klinik yang terletak di daerah Tebet. Klinik itu tidak besar, tapi terkenal di kalangan komunitas karena menerima pasien yang ingin menjalani transisi gender secara medis.
Sepanjang perjalanan, Alya diam. Tangannya menggenggam tas kecil di pangkuan. Di dalamnya ada berkas yang sudah disiapkan: fotokopi KTP, kartu mahasiswa, dan catatan harian yang ia tulis selama setahun terakhir.
Tio duduk di belakangnya, sesekali menepuk pundaknya untuk memberi semangat. Tapi Alya tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Apakah aku benar-benar siap?
Sesampainya di klinik, mereka turun dan berjalan menuju lobi. Ruang tunggu sederhana itu penuh dengan bau disinfektan dan suara AC yang menderu. Beberapa pasien duduk diam, beberapa lainnya sibuk dengan ponsel. Alya menatap antrean dengan gugup.
Seorang perawat perempuan mendekat. “Alya?”
Alya berdiri pelan. Tio ikut berdiri, tapi Alya menggenggam tangannya.
“Lo tunggu di sini ya,” katanya dengan suara lirih.
Tio mengangguk. “Kalau lo butuh, tinggal panggil.”
Langkah Alya menuju ruang konseling seperti melangkah di atas batu-batu kecil yang tajam. Setiap langkah membawa degup jantung yang makin kencang.