Hari-hari setelah suntikan pertama berjalan perlahan dan berat. Alya bangun setiap pagi dengan perasaan asing dalam tubuhnya. Perubahan kecil mulai muncul. Kulit yang biasanya kering terasa lebih halus. Saat mencuci wajah, ia menyadari bahwa kulit pipinya seperti menyerap air lebih cepat. Tak ada yang drastis, tetapi cukup untuk membuatnya diam lama di depan cermin.
Tubuhnya mulai mengenali estrogen sebagai penguasa baru. Perubahan pertama yang paling menyolok adalah rasa nyeri dan ketegangan pada dada. Bukan nyeri seperti luka atau terbentur, melainkan sensasi penuh yang konstan, seolah ada dua titik di tubuhnya yang berdenyut setiap kali disentuh pakaian atau terkena aliran air saat mandi.
“Kenapa gue jadi sensitif banget, ya?” keluh Alya sambil memegang dada pelan.
Tio, yang sedang membuat teh di dapur kecil kos mereka, menoleh.
“Itu tanda hormon lo mulai bekerja. Lo jadi lebih peka, bukan cuma secara fisik, tapi juga emosional.”
Alya tersenyum lemah. Hari-hari sebelumnya penuh dengan tangis yang datang tiba-tiba. Saat menonton film yang biasanya membuatnya menguap, ia kini menangis. Saat mendengar anak kecil bernyanyi di pinggir jalan, matanya basah. Ia tidak lagi bisa menyembunyikan isi hatinya seperti dulu.
Malam adalah waktu yang paling sulit. Rasa gelisah datang saat sepi menekan. Ia sulit tidur, bukan karena takut, tetapi karena tubuhnya tak henti memberi sinyal-sinyal baru. Kadang ia berkeringat dingin, kadang perutnya mual seperti melawan zat asing yang disuntikkan. Namun di tengah ketidaknyamanan itu, ada rasa lega yang ia peluk erat.
Dalam buku hariannya, ia menulis:
Perubahan ini sakit. Tapi ini sakit yang aku pilih. Sakit yang membuatku merasa hidup. Sakit yang akhirnya memberi arti pada tubuh yang selama ini hanya jadi topeng.
Tio tidak pernah bertanya terlalu banyak, tapi kehadirannya membuat semuanya terasa lebih mudah. Ia selalu datang di waktu yang tepat. Saat Alya mulai meragukan dirinya, Tio hanya akan duduk di sebelahnya, menggenggam tangan atau sekadar mendengarkan ia menangis.
Suatu malam, Alya terbangun dengan tubuh berkeringat. Dadanya berdebar, napasnya tak teratur. Ia menyalakan lampu kecil di pojok kamar dan duduk di lantai, menggigil. Beberapa menit kemudian, Tio datang dengan hoodie besar dan langsung memeluknya dari belakang.
“Gue gak tahu ini apa,” bisik Alya sambil menyembunyikan wajah di dada Tio.