Pagi itu Jakarta masih dibungkus kabut tipis. Jalanan belum terlalu ramai. Suara motor dan klakson belum mendominasi udara. Dari kamar kecil di lantai dua sebuah rumah kos sederhana, cahaya matahari perlahan masuk melalui celah jendela. Tirai tipis bergoyang pelan. Udara pagi terasa dingin, tapi ada kehangatan lain yang tumbuh dalam hati Alya.
Ia baru saja terbangun dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena kegelisahan yang samar-samar. Sudah seminggu ini ia merasa tubuhnya berubah. Lebih dari sekadar rasa pusing atau mual karena terapi hormon, tapi seperti ada sesuatu yang tumbuh dari dalam. Sesuatu yang sudah lama ia tunggu.
Ia duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri perlahan. Di pojok kamar, berdiri sebuah cermin tinggi yang sudah mulai kusam. Cermin itu ia bawa dari rumah orang tuanya di Jakarta Selatan. Cermin yang sama yang sejak kecil memantulkan bayangan Andre. Bocah laki-laki yang tak pernah benar-benar mengenal dirinya sendiri.
Alya berdiri di depannya. Lama. Tidak bicara. Tidak bergerak. Hanya menatap.
Yang ia lihat bukan lagi Andre.
Wajah itu—meski belum sepenuhnya berubah—sudah menunjukkan sesuatu yang baru. Pipi yang lebih lembut. Bibir yang tampak sedikit lebih penuh. Mata yang dulu redup kini tampak berbinar. Bukan karena make-up, tapi karena ada rasa damai yang mulai tumbuh dari dalam.
Ia menyentuh wajahnya dengan ujung jari. Lalu menyentuh lehernya. Lalu dadanya yang mulai terasa sensitif setiap kali tertindih pakaian. Ada lekuk baru di sana. Ada rasa baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia tak sadar air matanya mengalir.
Tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak menyeka air mata itu dengan cepat. Ia membiarkan air itu jatuh, menelusuri pipi, lalu jatuh ke leher. Ia tidak menangis karena sedih. Ia menangis karena rasa syukur yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan.
Ia berbisik pelan pada bayangan di cermin.
"Kamu cantik. Kamu hidup."
Pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Alya, udah bangun? Gue masak mi rebus,” suara Tio terdengar tenang.
Alya cepat-cepat memakai daster biru muda favoritnya. Daster itu adalah satu dari banyak koleksi baju perempuan yang kini memenuhi lemarinya. Sejak mulai berproses, Alya perlahan membeli satu per satu: kaus feminin, blus, rok, gaun tidur, hingga koleksi dalaman seperti bra dan celana dalam wanita.
Hari itu, untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman mengenakan bra di bawah dasternya, meski hanya di kamar kos. Tapi ada kepuasan tersendiri saat ia merasakan tali bra di pundak dan lekukan kecil di dadanya yang mulai terbentuk. Itu bukan hanya pakaian—itu validasi diam-diam yang membuatnya bisa bernapas lebih bebas.