Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #30

Di Balik Dosen yang Menghina

Pagi itu langit Jakarta berwarna abu-abu, seperti mencerminkan perasaan Alya yang sedikit gelisah. Ia bangun lebih awal dari biasanya, menata rambutnya rapi, lalu memakai blus biru muda dan celana panjang berwarna hitam. Di depan cermin, ia memastikan riasannya cukup ringan namun tetap tegas—foundation tipis, lipstik nude, dan eyeliner halus. Hari ini ia harus tampil siap, karena giliran kelompoknya presentasi tugas akhir mata kuliah Teori Sosial.

Di kelas, suara obrolan mahasiswa terdengar riuh rendah. Beberapa mahasiswa baru tampak saling menyalami, sebagian lainnya sibuk membuka laptop dan mencatat hal-hal kecil di buku catatan. Alya duduk di bangku tengah, tepat di depan proyektor. Tio duduk di sebelahnya, memberi senyum kecil sebagai penyemangat.

“Lo siap, Ly?” tanya Tio pelan.

Alya mengangguk. “Lebih siap dari kemarin. Semalam gue latihan tiga kali di depan kaca.”

Tio tertawa. “Nanti kalau gugup, lihat mata gue aja. Lo gak sendirian.”

Sepuluh menit kemudian, kelas dimulai. Dosen pengampu, Pak Gunardi, seorang pria berumur lima puluhan dengan kacamata tebal dan ekspresi galak, masuk ke ruangan dengan langkah cepat. Ia langsung duduk dan membuka laptopnya tanpa menyapa siapa pun.

“Kelompok dua, silakan presentasi,” katanya tegas.

Alya dan Tio berdiri. Dengan langkah percaya diri, mereka berjalan ke depan kelas. Alya menjadi pembuka presentasi.

“Selamat pagi, Pak, teman-teman semua. Hari ini kami akan mempresentasikan topik kami tentang dinamika identitas gender dalam ruang publik...”

Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari mulut Alya. Ia menyampaikan data, teori, dan narasi dengan jelas dan artikulatif. Tio kemudian melanjutkan bagian analisis. Mereka berdua tampil kompak dan meyakinkan.

Namun ketika sesi tanya jawab dimulai, suasana berubah.

Pak Gunardi menatap Alya dari atas kacamata. Wajahnya datar, nyaris sinis.

“Kamu ini laki-laki atau perempuan sih?”

Kelas hening seketika.

Beberapa mahasiswa saling melirik. Suara kipas angin di langit-langit seperti mendadak terdengar begitu keras. Tio menegang di sebelah Alya, namun Alya tetap berdiri tegak.

Ia menatap Pak Gunardi dengan tenang.

“Saya manusia, Pak.”

Lihat selengkapnya