Jakarta malam itu basah oleh hujan yang turun sejak sore. Pohon-pohon di pelataran kampus Universitas Taruna Mandiri bergoyang pelan diterpa angin. Lampu-lampu taman menyala redup, menciptakan pantulan cahaya di genangan air. Suasana terasa seperti dalam lukisan—tenang, indah, dan penuh ketegangan.
Gedung serbaguna di ujung kompleks fakultas sudah ramai oleh mahasiswa. Malam itu adalah malam apresiasi, acara tahunan kampus untuk merayakan prestasi akademik dan organisasi mahasiswa. Semua orang berdandan rapi: jas, kemeja, gaun, sepatu berkilau. Malam itu juga akan jadi malam pertama bagi Alya tampil di depan umum sebagai dirinya yang sebenarnya.
Ia berdiri di depan cermin kamar kos. Blush on halus menyentuh pipinya, bibirnya dilapisi lipstik nude yang membuatnya tampak dewasa dan anggun. Rambut panjangnya disisir rapi dan disematkan jepit mutiara kecil di sisi kiri. Gaun berwarna lavender yang sederhana namun elegan memeluk tubuhnya dengan pas.
Ia menarik napas panjang.
“Alya, kamu bisa,” bisiknya pada diri sendiri.
Pintu kamar diketuk. “Ly, udah siap?”
Suara Tio.
Alya membuka pintu. Tio berdiri di depan dengan setelan jas biru dongker dan dasi abu muda. Matanya membelalak sesaat melihat Alya, lalu tersenyum lebar.
“Lo... cantik banget.”
Alya menunduk malu. “Lo yakin gue gak kelihatan aneh?”
Tio menggenggam tangannya. “Lo kelihatan jadi diri lo sendiri. Dan itu gak pernah aneh.”
Perjalanan ke kampus ditempuh dalam keheningan. Hujan masih rintik-rintik, dan di dalam mobil taksi online itu, tangan mereka saling menggenggam erat. Alya menatap keluar jendela, pikirannya berputar cepat.
Sesampainya di gedung serbaguna, semua mata menoleh saat mereka masuk. Beberapa terdiam, beberapa berbisik. Tapi Alya tidak mundur. Ia berdiri tegak, langkahnya mantap meski jantungnya berdetak kencang. Di dalam aula, ia melihat banyak wajah familiar—teman sekelas, dosen, bahkan beberapa senior yang dulu pernah mengejeknya.