Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #32

Mahasiswa Berani Bicara

Pagi di kampus terasa berbeda akhir-akhir ini. Bukan karena perubahan cuaca atau jadwal kuliah, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Alya merasakannya sejak acara malam apresiasi fakultas. Sejak malam itu, ia merasa langkah-langkahnya lebih mantap. Dunia memang tidak serta merta berubah, tapi ruang-ruang kecil mulai terbuka. Pandangan orang-orang mulai melunak, dan yang lebih penting, dirinya mulai percaya bahwa suara kecil pun bisa menggema.

Di tengah keriuhan kampus, Alya duduk di kantin fakultas dengan selembar selebaran di tangannya. Sebuah diskusi kampus akan diadakan minggu depan, membahas topik: "Mahasiswa, Minoritas, dan Ruang Aman di Kampus." Selebaran itu disebarkan oleh BEM fakultas dan komunitas mahasiswa inklusif. Tanpa ragu, Alya mendaftar sebagai salah satu pembicara.

“Lo yakin mau tampil di forum itu?” tanya Tio saat mereka duduk bersama di taman kampus.

Alya mengangguk. “Gue harus bicara. Kalau bukan gue, siapa lagi?”

Tio terdiam sejenak, lalu meremas tangannya pelan. “Gue dukung. Tapi hati-hati, ya. Gak semua orang siap denger kebenaran.”

Hari demi hari Alya mempersiapkan materinya. Ia membaca ulang catatan kuliah tentang hak-hak sipil, studi gender, dan pengalaman minoritas. Ia juga menulis ulang pengalamannya sendiri—bukan sebagai curhatan pribadi, tapi sebagai bagian dari sejarah kecil di dalam ruang akademik.

Hari forum tiba. Gedung seminar penuh dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Beberapa dosen juga hadir, duduk di deretan kursi belakang. Di meja pembicara, Alya duduk berdampingan dengan dua mahasiswa lain dan seorang dosen tamu dari fakultas psikologi.

Ketika gilirannya bicara, Alya berdiri. Ia memandang ruangan itu sejenak. Wajah-wajah penuh harap dan juga waspada menatap ke arahnya. Ia menarik napas dan memulai.

Lihat selengkapnya