Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #36

Operasi Payudara Dan Malam Keintiman (21+)

Pagi itu langit Jakarta berwarna pucat. Matahari belum benar-benar menampakkan diri ketika Alya bangun dari tidurnya. Ia duduk di tepi kasur, mengusap wajah dengan tangan gemetar. Hari itu adalah hari yang sudah lama ia tunggu, sekaligus ia takutkan. Hari di mana tubuhnya akan berubah selangkah lebih dekat menjadi cermin bagi jiwanya.

Tio masih terlelap di sudut kasur kecil mereka. Alya memandang wajahnya yang damai dan tenang. Lelaki itu, yang sudah memberikan semua: waktunya, hatinya, bahkan tabungannya. Semua untuk Alya.

Beberapa minggu lalu, Alya mendapat kabar bahwa klinik di Bangkok membuka slot untuk pasien internasional dengan biaya subsidi lewat jalur komunitas queer ASEAN. Ia langsung mendaftar. Komunitas tempatnya aktif juga membantu dalam proses administrasi. Yang paling berat adalah uang muka. Tapi Tio, tanpa banyak tanya, memberikan semua tabungannya.

“Ini buat lo. Anggap aja tiket kebebasan,” ucapnya saat itu.

Kini, hari itu datang. Alya naik pesawat ke Bangkok dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di dekat jendela, memandangi awan di kejauhan. Tangannya mencengkeram tiket dan surat pernyataan medis. Beberapa kali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di dalam hatinya ada ketakutan, tapi lebih besar dari itu adalah harapan.

Tiba di Bangkok, ia dijemput oleh relawan dari komunitas trans lokal yang bekerja sama dengan klinik. Mereka ramah, penuh senyum, dan berbicara dengan lembut. Alya merasa diterima. Di dunia yang begitu sering menolaknya, momen itu adalah oase.

Klinik itu bersih, dengan aroma antiseptik yang samar. Dokter bedahnya perempuan paruh baya yang berbicara pelan dan sabar. Alya menjalani sesi konseling, pemeriksaan fisik, dan serangkaian tanda tangan dokumen. Di satu meja, ia duduk sendiri dengan secarik kertas bertuliskan:

“Saya menyadari risiko operasi dan menyetujui prosedur breast augmentation dengan penuh kesadaran.”

Tangannya gemetar saat menulis namanya. Alya. Nama yang dulu hanya ia bisikkan di buku harian, kini tercetak di dokumen medis internasional. Ia menatap hasil tanda tangannya dengan mata berkaca-kaca. Itu bukan sekadar kertas. Itu adalah pengakuan. Keberanian. Kebebasan.

Malam sebelum operasi, Alya menginap di ruang pasien klinik. Ia mengirim pesan suara untuk Tio.

“Hari ini gue takut. Tapi juga bahagia. Gue cuma pengin lo tahu, kalau semua ini gak akan terjadi tanpa lo. Lo bukan cuma pacar gue. Lo adalah rumah gue.”

Tio membalas dengan pesan singkat: “Gue bangga banget sama lo. Tidur yang nyenyak. Besok kita mulai hidup baru.”

Keesokan paginya, Alya mengenakan gaun pasien warna biru pucat. Rambutnya diikat ke belakang. Ia berjalan menuju ruang operasi dengan langkah pelan. Suara monitor medis, instrumen logam, dan suara lembut perawat mengiringi.

Saat berbaring di meja operasi, ia menutup mata dan mengingat masa kecilnya. Saat mencoba gaun ibunya secara diam-diam. Saat menangis di depan cermin karena tubuhnya terasa asing. Kini, semua luka itu akan perlahan terobati.

“Saya akan mulai bius ya,” kata dokter.

Lihat selengkapnya