Waria Bernama Alya

Zizan
Chapter #37

Luka Fisik, Luka Jiwa

Satu minggu telah berlalu sejak Alya kembali dari Bangkok. Luka bekas operasi masih terasa panas dan ngilu. Setiap gerakan kecil seperti mengambil gelas atau bangun dari tempat tidur menjadi tantangan tersendiri. Tapi bukan itu yang membuatnya ingin menangis tiap malam.

Yang paling menyakitkan datang dalam bentuk amplop tipis berwarna krem.

Surat dari ibunya.

Alya duduk di kasur dengan punggung disandarkan ke dinding. Ia menatap surat itu selama berjam-jam sebelum akhirnya membukanya. Tangannya gemetar. Tio duduk di sampingnya, memegang tangan Alya erat.

Amplop itu kosong dari harapan.

Di dalamnya hanya ada selembar kertas yang telah dilipat dua. Tulisan tangan ibunya masih sama seperti dulu, tapi kini terasa asing.

Andre, jika kamu membaca ini, anggap surat ini sebagai tanda bahwa ibu sudah tidak lagi bisa menerimamu. Kau bukan anakku lagi. Jangan pernah kembali ke rumah ini. Jangan pernah menghubungi kami. Doa ibu selalu bersamamu, tapi bukan untuk jalan yang kau pilih ini.

Alya menatap tulisan itu lama. Ia tidak menangis. Matanya hanya kosong. Seolah tubuhnya membaca, tapi jiwanya masih menolak memahami.

Tio yang membaca surat itu lebih dulu merasa darahnya naik ke kepala. Tapi ia menahan diri. Ia tahu, ini bukan saatnya marah. Ini saatnya menjadi dinding tempat Alya bersandar.

"Dia... benar-benar bilang kayak gitu?" tanya Alya pelan.

Tio mengangguk. "Iya. Tapi... dia salah."

Alya menunduk. Matanya mulai basah.

"Aku cuma pengin diterima," bisiknya.

Tio memeluk Alya. Tangannya mengusap punggung pelan-pelan, menghindari bagian yang masih nyeri. Ia membiarkan air mata Alya jatuh di bahunya.

"Lo gak sendiri," ucap Tio lirih. "Gue di sini. Lo punya gue."

Lihat selengkapnya