Hujan kembali membasahi Jakarta di akhir pekan yang lengang. Alya duduk bersila di atas kasur kosannya, menatap layar laptop yang menyala dengan halaman kosong terbuka di depan mata. Jari-jarinya diam, menggantung di atas keyboard. Di sebelahnya, secangkir kopi susu buatan Tio mulai mendingin, uapnya nyaris hilang. Tapi pikiran Alya justru mendidih, berkelana ke masa kecil, ke hari-hari ketika ia hanya bisa mencintai dirinya dalam diam.
Sudah lama ia menyimpan keinginan ini—menuliskan kisah hidupnya. Bukan untuk mencari simpati, bukan pula untuk sensasi. Ia hanya ingin bersuara. Ia ingin dunia tahu, bahwa di balik wajah, nama, dan tubuhnya yang kini mulai membentuk identitas baru, ada ribuan malam yang ia lalui dengan tangis. Ada ribuan langkah yang ia ayunkan dengan ragu.
Dengan satu tarikan napas panjang, Alya mulai mengetik.
"Halo, dunia. Namaku Alya. Aku seorang waria. Dan ini ceritaku."
Kalimat pembuka itu membuat dadanya berdebar. Tapi ia terus mengetik. Ia menulis tentang Andre kecil yang suka mencuri waktu mengenakan gaun ibunya, tentang Tio yang pertama kali memeluknya saat hujan, tentang surat-surat yang tak pernah dikirim, tentang luka yang tak terlihat dan kecupan di gudang sekolah yang mengubah segalanya.
Ia menuliskan bab demi bab kehidupannya, seolah mengulang perjalanan panjang yang telah dilaluinya bersama Tio. Ia tidak menutupi rasa takut, kebingungan, hingga momen ketika dirinya berdiri telanjang di depan cermin dan menangis dalam kemenangan setelah operasi di Bangkok.
Blog itu ia beri nama: Waria Bernama Alya.
Awalnya, hanya beberapa pembaca dari forum queer yang menemukannya. Tapi dalam waktu seminggu, unggahan pertamanya disebarkan ratusan kali. Banyak yang menulis komentar dukungan. "Aku juga waria, tapi belum berani cerita. Terima kasih udah bersuara." Atau, "Alya, kamu bikin aku menangis. Dunia butuh lebih banyak orang seberani kamu."
Namun seperti dua sisi koin, cinta datang bersama kebencian. Komentar kasar mulai membanjiri. Ada yang memanggilnya dengan nama lahir. Ada yang mengutuk dan menyuruhnya tobat. Ada yang bahkan mengancam akan melacak alamat IP-nya.
Alya membaca semuanya. Awalnya sakit. Tangannya gemetar saat membaca komentar bertuliskan: "Kamu dosa berjalan. Mending kamu mati."
Tapi ia juga membaca komentar lain: "Aku punya anak seperti kamu. Terima kasih sudah menulis ini. Sekarang aku belajar memahami."
Suatu malam, Tio memergokinya menangis sambil menggulir komentar.
"Kenapa kamu baca itu semua, Sayang?" tanya Tio, meraih laptop dan menutupnya pelan.