Pagi itu Jakarta terasa berbeda bagi Alya. Udara memang masih sesak oleh suara klakson, deru kendaraan, dan langkah orang-orang yang terburu-buru, tetapi di matanya, dunia kini terbuka lebih lebar. Ia bukan lagi Alya yang berjalan sambil menunduk, takut jika ada yang menunjuk atau menertawakan. Kini, setiap langkahnya membawa suara dan keberanian yang dulu hanya bisa ditulis dalam buku harian.
Blog dan puisinya tersebar luas. Setelah tampil di panggung Festival Mahasiswa, nama Alya disebut di berbagai media sosial. Ada yang memujinya sebagai simbol keberanian dan representasi yang selama ini dibungkam. Tapi, tidak sedikit pula yang menganggapnya ancaman terhadap norma dan moralitas.
Di kampus, Alya berjalan menuju kelas dengan ransel kuning dan jaket oversize berwarna pastel. Ia mengenakan celana panjang dan sepatu putih polos. Make-up-nya tipis, tapi cukup menampilkan dirinya. Beberapa mahasiswa menyapanya ramah. Sebagian lainnya hanya melirik atau berbisik di belakang. Namun tidak ada yang berani menyuarakan hinaan di depannya. Karena Alya sudah berbeda. Ia bukan lagi objek cemoohan. Ia telah menjadi sosok publik.
Dalam ruang kelas, dosen yang dulunya mengomentari identitas Alya kini justru membacakan puisinya dalam kuliah sastra. “Sebuah refleksi jujur tentang identitas dan keberanian,” katanya.
Tio menunggu Alya di luar kelas, duduk santai di atas motor bebek tua yang mereka rawat bersama. Ia membawa kopi dingin favorit Alya. Ketika Alya keluar dari kelas, mereka bertatapan dan tertawa kecil.
“Makin hari makin keren ya kamu,” ucap Tio.
Alya mengambil kopi itu dan mencium pipinya. “Makanya jangan bosan mendampingi orang keren.”
Di sore hari, Alya menghadiri pertemuan komunitas queer di sebuah kafe kecil di daerah Mampang. Tempat itu seperti rumah kedua. Di sana, ia bertemu dengan para aktivis, mahasiswa, bahkan beberapa profesional yang diam-diam merasa terwakili lewat kisahnya.
“Kamu harus tahu, tulisan kamu menyelamatkan hidupku,” ucap salah satu peserta diskusi bernama Mitha, seorang guru honorer yang baru mulai terbuka pada orientasi dan identitasnya.
Alya tersenyum, menahan haru. “Kamu juga menyelamatkan dirimu sendiri. Aku cuma nyalain lilin kecil.”
Namun, tidak semua sambutan sehangat itu. Dalam perjalanan pulang, akun media sosial Alya dibanjiri komentar negatif. Beberapa menyebutnya ‘penyimpang’, ‘perusak moral’, bahkan mengancam keselamatannya. Tio duduk di samping, membaca pesan-pesan itu sambil mengepalkan tangan.