Senja merayap pelan di langit Jakarta, menyisakan semburat jingga yang menghangatkan sore itu. Di atas bukit kecil tak jauh dari kosan mereka, tempat yang selama ini jadi pelarian Alya saat ingin menangis sendirian atau sekadar menatap langit, Tio sudah menunggu. Ia duduk di atas tikar sederhana yang dibentangkan di antara rerumputan, di sampingnya ada dua gelas teh manis dan kotak kayu kecil yang dililit benang merah.
Alya mendaki perlahan, mengenakan hoodie biru favorit dan legging hitam yang telah memudar warnanya. Angin sore membelai rambut panjangnya yang kini dibiarkan tergerai. Di punggungnya menggantung tas kecil berisi buku harian dan lotion tabir surya yang tak pernah ia tinggalkan. Langkahnya ringan meski hari itu penuh kesibukan.
Tio menoleh dan tersenyum ketika melihat Alya datang. Wajahnya tampak gugup, namun tetap penuh kehangatan. Ia berdiri menyambut Alya, mengambil tangannya, lalu mempersilahkannya duduk di tikar.
“Aku nggak tahu cara romantis yang benar gimana,” katanya sambil menggaruk tengkuk. “Tapi aku tahu satu hal... Kamu orang yang selalu aku tungguin dalam setiap hidupku.”
Alya tertawa kecil. “Tumben kamu serius banget. Ada apa?”
Tio menarik napas panjang, lalu mengeluarkan kotak kayu kecil dari saku jaketnya. Ia meletakkannya di depan Alya tanpa kata.
Alya menatap benda itu. Hatinya mulai berdetak kencang. Dalam diam, ia menyentuh permukaannya yang kasar, membuka perlahan. Di dalamnya, ada cincin perak sederhana yang tampak tak sempurna. Tertulis inisial A dan T dengan goresan tangan.
“Aku bikin ini sendiri,” kata Tio pelan. “Dari sendok tua ibuku. Nggak indah, tapi penuh niat. Alya, maukah kamu menikah denganku?”
Hening.