Tiga belas tahun lalu, di pekarangan belakang dekat pohon kopi dan kubangan limbah air kamar mandi dan dapur, ibu menyuapiku makan siang sembari menembang lagu masa remajanya yang bagiku terdengar sebagai gumaman orang mengantuk. Ketika segumpal nasi terjun ke tanah menempel di ujung sandalnya–berseberangan dengan seonggok tahi ayam kecokelatan dan guguran kembang kopi–dengan sigap ibu membungkuk memungut nasi itu lalu menyuapi mulutnya sendiri. Tanah yang kami pijak belum sepenuhnya kering dari air comberan yang disiramkan ibu ke sekitar pekarangan pukul sebelas, sebelum pengepul kelapa datang membawa tiga orang pekerja untuk memanen pohon-pohon kelapa kami.
Ibu melakukan itu sepanjang waktu menyuapiku selama yang aku tahu. Ketika suatu kali aku begitu saja mempraktikkan tabiatnya di sekolah pada jam istirahat, memakan satu demi satu pilus kacang yang berserakan di tanah, seorang kawan mengolok-olokku dan sengaja melempar gulalinya, meminta aku memungutnya. Tawa kawan-kawan meledak seperti amarahku yang keluar sebagai air mata dan jeritan. Itu adalah tahun pertamaku di sekolah dasar.
Mereka mengelilingiku sembari mengataiku gemi berulang kali, tak terhitung jumlahnya. Itu adalah julukan yang diberikan oleh orang-orang di desa kami kepada ibuku atas tabiatnya. Julukan setengah mengolok-olok, kukira. Tetapi ibuku–sepanjang yang aku lihat ketika orang memanggilnya gemi–merasa terhormat menyandang gelar itu. Ia meletakkan gelar itu di atas kepalanya seumpama mahkota. Gemi, nastiti, ati-ati. Hemat, teliti, hati-hati. Begitu katanya dengan senyum merekah, cerah, seperti kembang pohon waru.
Lalu akibat dari spontanitasku mengikuti tabiatnya yang begitu lekat di alam bawah sadarku, teman-temanku memperlakukanku sebagai pewaris gelar itu selama sepekan berturut-turut. Pada suatu hari aku benar-benar tidak tahan lagi. Saat itu jam pelajaran Bahasa Indonesia. Guru meminta kami menggambar pohon keluarga inti. Bukuku direbut oleh si pelempar gulali. Ia membubuhkan kata G-E-M-I besar sekali di bawah gambar diriku dan ibu. Tulisannya sangat jelek dan huruf E-nya terbalik. Ada dorongan yang sangat kuat bagiku untuk merebut kembali bukuku kemudian menghadiahinya sebuah gigitan di pergelangan tangan kanan.
“Inas,” kubilang setelah gigitanku lepas. Aku melotot hingga mataku perih dan berair. “Namaku Inas. I-N-AS.”
Aku ingin menghadiahinya satu gigitan lagi di tangan kiri. Namun pak guru bergegas menggendong si pelempar gulali yang menangisi luka di pergelangan tangannya sembari menggandengku keluar kelas, membawa kami ke kantor.
Ibuku nantinya mengartikan dorongan itu sebagai bisikan iblis ketika aku mengadu padanya sepulang sekolah. Ia tidak memberiku ketentraman yang aku harapkan. Ia bilang aku nyaris membuat orang lain kehilangan tangan.
Ia memintaku membantunya membuat kue nagasari hari itu juga untuk diantarkan ke rumah si pelempar gulali. Jalanan yang kami lalui berdebu oleh cuaca musim kemarau yang menyengat dan kusam. Tanah berwarna abu-abu. Kaki kami bergesekan dengan guguran daun mahoni yang mengering, menimbulkan suara gemerisik dan patah-patah. Perjalanan kami terasa begitu panjang untuk tiba di rumah tujuan yang sebenarnya hanya berjarak kurang lebih satu kilometer. Ibu selalu berhenti untuk memungut biji buah mahoni, mengumpulkan biji itu hingga kantong plastiknya menggembung dan sesak. Biji itu adalah obat segala penyakit katanya. Dengan posisi membungkuk dan mata menatap lurus ke tumpukan dedaunan dan tangan mengorek-ngorek tumpukan itu, ia menasehatiku tentang keutamaan kue nagasari sebagai lambang keakraban. Itulah mengapa ibu ingin aku minta maaf ke rumah pelempar gulali dengan buah tangan kue yang berbahan dasar tepung beras, gula pasir, santan, dan pisang itu. Yang terbaik menurut ibu adalah realita bahwa semua bahan itu asalnya dari kebun yang ia jaga dan jajanan itu diciptakan oleh kedua tangannya.
Beberapa biji mahoni gugur, melayang, berputar seperti baling-baling. Satu biji mendarat di punggung ibu. Benda pipih memanjang itu tetap di sana lalu terjun ke tanah saat ibu mengubah posisinya, berjongkok, mengambil satu buah mahoni utuh lalu memukul-mukulkannya ke atas bebatuan. Buah itu terbelah, biji-biji kecokelatan berhamburan. Ibu begitu bersemangat memindahkan semua biji ke dalam kantong plastiknya yang seperti akan meledak kepenuhan. Di rumah, di samping kandang ayam, ada para-para memanjang tempat ia menyimpan semua biji mahoni yang ia kumpulkan sejak aku masih bayi, berdesakan dengan bungkus mi instan dan segala rupa kantong plastik bekas lainnya. Beberapa bungkusan biji itu telah terurai oleh waktu menjadi bubuk dan serpihan kecil. Di bawah para-para ada bak mandi sewaktu aku bayi yang berisi tumpukan ember bocor dan tumpukan piring pecah yang katanya akan ia benahi suatu hari nanti untuk membuatnya kembali utuh.
Terlepas dari semua upaya baiknya saat itu, yang sungguh aku sesalkan, adalah tidak adanya pertanyaan dari ibu apakah aku ingin minta maaf pada pelempar gulali itu atau tidak dan perlukah aku memaafkannya.
Waktu terus berlalu dan tidak mengubah apa pun. Ibu tetap menyuapiku, mengambil beberapa remah yang jatuh di mana saja lalu memasukkan semua itu ke dalam mulutnya. Kadang-kadang ke dalam mulutku juga. “Jangan menyiakan apa pun,” katanya. “Itu perbuatan setan.”