Tetapi, yang aku benci dari menjadi terlalu bahagia adalah kesedihan akan selalu datang setelahnya, sekenanya. Ibu kembali ke tabiat awalnya tanpa ragu setelah mendengar seorang keponakan akan menikah tiga bulan ke depan. Ibu bersiaga dua. Ia tidak lagi membeli apa pun dari pasar. Kami menunggu ayam-ayam bertelur jika ingin makan telur. Kami berkeliling kebun, menyibak semak-semak dan pagar kembang sepatu, untuk memburu siput. Ayam dan bebek, kendati aku menangis jungkir balik pun, mereka tidak akan dipotong kecuali saat hari-hari besar dan sakral.
Dalam kesehariannya, ibu akan meraup dua genggam kacang hijau atau kedelai yang ia simpan dari panenan terakhir lalu ia merendam biji-bijian itu, menumbuhkan mereka di atas kain serbet, lalu memintaku memanen kecambah-kecambah itu dengan penuh gairah pada hari-hari berikutnya.
Ketika penjual tempe daun mengayuh sepeda di jalan di depan rumah kami di waktu pagi sambil membunyikan bel dan berteriak tempe dengan ‘e’ yang mengalun panjang dan nyaring, Ibu akan muncul dari balik pintu dengan tangan mengacungkan tempe. Ia bilang ia telah menciptakan tempenya sendiri dengan kualitas yang lebih baik.
Ibu menyandingkan segala rupa sayur dari kebun dengan sambal pecel yang ia buat dalam jumlah banyak untuk waktu tiga bulan. Daun pepaya dan bunga-bunganya adalah tanaman tahan banting terhadap segala musim dan yang paling sering menghiasi meja makan kami. Ada keterlibatanku dalam pembuatan sambal pecel itu. Bersama ibu aku mengulek kacang tanah goreng lima kilogram pada pagi hingga menjelang malam. Lalu, selama tiga bulan berturut-turut, selalu ada semangkuk sambal pecel di meja makan kami sebagai pemantik rasa lapar.
Ketika ibu menemukan wajahku yang muram di depan meja makan, ia akan berkata: “Kalau kau berpikir untuk kembali bersembunyi di atas pohon jambu atau pohon-pohon lainnya, aku akan membuatnya menjadi kenyataan sekarang juga. Dan Ibu pastikan kau akan tinggal di sana selamanya.”
Kalimat itu sangat kuat, seperti sebuah mantra yang dilafalkan orang sakti yang berhasil membuatku makan dengan lahap.
Sembilan puluh hari bukan waktu yang sebentar untuk terus mengonsumsi sambal beraroma kencur dan daun jeruk itu. Ada satu momen, selalu ada, ketika aku tidak bisa menelan sambal dan daun pepaya rebus. Aku kemudian membiarkan diriku kelaparan seharian, mengganjal perutku dengan lima buah jambu biji yang berbuah sepanjang tahun di pekarangan kami. Aku melakukannya untuk mencintai memakan daun pepaya. Perut yang lapar akan menerima apa saja. Lidah yang cerewet pun tak akan bisa protes. Telan saja. Telan saja. Begitu kata perutku saat aku menyuapi mulut dengan tangan gemetar.
Ibuku yang pantang menyerah akan kembali menghangatkan sisa sayur di pagi hari, mencampurnya dengan sayuran baru. Ia tidak akan menyeduh sambal pecel hingga sambal lama habis. Ia melakukan ritual itu setiap pagi, menyatukan masakan yang baru dengan yang lawas. Itulah alasan bapak gemar memberi makan ayam-ayam, diam-diam. Tetapi ayam-ayam itu tidak makan daun pepaya. Mereka akan mencabik-cabiknya lalu meninggalkannya berserakan di pekarangan. Saat pertama kali aku mencoba meniru gaya culas bapak, aku bersikap ceroboh dengan melemparkan begitu saja daun pepaya berbalut sambal pecel di pekarangan belakang. Ibu menemukan daun-daun yang ketambahan lapisan tanah itu lalu memungutnya. Ia masuk ke dapur, mengambil segayung air dari dalam gentong lalu mengguyurnya.
“Siapa yang melakukannya?”