WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #3

K-U-T-A-N-G

Usiaku sepuluh tahun saat itu. Kata ibu payudaraku mulai bertumbuh karena aku sering mengeluhkan sakit di area puting. Pada hari pertama aku bertanya kepadanya mengapa payudaraku mengeras, ibu segera membongkar lemarinya, mengambil satu kantong kresek besar yang warna merahnya telah memudar. Ia membuka ikatan kantong kresek itu, mengeluarkan lapisan kertas kalender tahun 1998 silam. Saat itu tahun 2004. Kalender pelapis itu berusia enam tahun. Permukaannya menguning dan rapuh dan dipenuhi kotoran rayap–jatuhan dari papan dalam lemari yang berlubang memanjang, bercabang serupa ranting pohon. Ia membongkar isi kantong itu, mengeluarkan tiga centing (korset lilit), mengobrak-abrik kain sobekan daster sebagai penampung darah nifas dan menstruasi di masa lalu, menyingkirkan lusinan celana dalam dengan lubang dua kali lebar pinggangnya–ibu bilang ia sangat tambun ketika mengandungku. Ia berhenti sejenak untuk takjub dan bangga ketika melongok ke dalam kantong kresek, lalu setelah merasa cukup, ia mengeluarkan tujuh kutang kain berukuran mini berwarna krem lalu memberikannya padaku. Ia bilang itu adalah kutangnya ketika ia seumuran denganku.

Aku menerima kutang itu dengan takzim, seperti laku seorang pewaris tahta kerajaan saat upacara penobatan gelar. Aku meremas kutang itu dengan perasaan haru dan cemas sebagai perempuan yang ranum. Dari tujuh kutang itu, lima di antaranya memiliki bintik hitam jamur yang merata dari tali hingga ke inti. Tiga sisanya, aku ragu-ragu menyebutnya berwarna krem, karena mereka memiliki bercak kecokelatan mirip pulau-pulau kecil. Sewaktu aku bertanya apa yang terjadi dengan kutang-kutang itu, ibu bilang dulu ia merendamnya bersamaan dengan kain jarit yang baru ia beli dari pasar. Kutang-kutang masa remaja itu kelunturan.

Aku mengangguk. Lalu aku merentangkan kutang-kutang itu, aroma apak dan kerentaan dan serpihan kotoran rayap menyapu wajahku seakan mengucapkan salam perkenalan. Seketika terbit perasaan tak nyaman pada diriku saat menerima salam perkenalan itu yang aku sendiri ragu-ragu untuk memaknainya.

Kami saat itu menghadap cermin besar yang terpasang di pintu lemari. Ia mendorong kantong kresek dan kain kenangan masa lalunya menjauh dari hadapan lemari. Dalam pantulan cermin, ibu memintaku duduk tegak. Ia lalu memasang salah satu kutang masa remajanya ke dadaku. Pas, katanya. “Kau mirip Ibu.”

Ucapan ibu membuatku seketika memperhatikan wajahnya di dalam pantulan cermin yang tepinya telah buram dan kasar. Ada retakan memanjang di tengah-tengah cermin seumpama garis yang memisahkan pantulan wajahku dan ibu. Sebuah tahi lalat menghiasi ujung hidungnya yang mungil. Tahi lalat itu ditumbuhi dua helai rambut halus. Aku juga memilikinya tetapi dengan tanpa rambut halus. Ibu menyisir rambutku. Katanya aku juga memiliki rambutnya yang tipis dan sedikit bergelombang.

“Tidakkah Ibu berpikir kutang ini agak kebesaran buatku?” Aku meraih tali kutang di pundakku yang terpelintir dan tidak mau rapi meskipun telah aku paksakan.

Ibu membantuku menarik tali itu, mengatur ulang panjang pendeknya, menyesuaikan dengan bentuk pundakku. Tetapi aku kira upaya itu tidak membuahkan hasil. Kutang itu tetap semena-mena.

“Tidak. Tidak. Kau akan tumbuh besar dengan cepat. Ibu akan memberitahumu caranya.”

Ia lalu memintaku mengambil sebuah mangkuk dari dapur. Aku menyerahkan mangkuk keramik hadiah deterjen padanya. Ia lalu meletakkan benda itu di dadaku seperti aku sedang memakai kutang keramik. Ibu memutar mangkuk itu hati-hati. Katanya, itu adalah upaya untuk mempercepat pertumbuhan payudara dan memperindah tampilannya.

“Semua perempuan di desa ini melakukannya.”

“Sampai—”

“Sampai tujuan mereka tercapai.”

Ibu lalu memintaku mempraktikkan ritual itu dengan kedua tanganku sendiri, bergantian dari payudara kanan ke kiri.

“Seharusnya ada satu mangkok lagi agar pas.”

Lihat selengkapnya