WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #4

Sakit Tidak Berwujud

Nalin ada di mana-mana setelah pertemuan kami di parkiran sepeda. Dia adalah bak kamar mandi yang mengintipku pipis, tentu saja dengan kutang di tangannya. Ketika aku berbaring di dipan, Nalin menggantung di langit-langit kamar, sama panjangnya dengan kabel bola lampu yang menggantung di sisinya. Kutang di tangannya berayun seperti gerakan bandul hipnotis. Nalin adalah sepiring nasi, setumpuk kardus ibu, dan seekor semut yang merayap tergesa di celah retakan tembok rumah. Suaranya lekat, dekat, mengendap di kepalaku seperti mantra mandi yang ibu ucapkan ketika akan mengguyur ubun-ubunku. Suara itu ditimpali dengan gelak tawa teman-teman kelas yang menyudutkanku. 

Aku benar-benar tidak tahan. Membayangkan harus kembali duduk di kelas yang sama dengan Nalin dan dengan memakai kutang masa remaja ibu lainnya keesokan hari benar-benar membuatku putus asa. 

“Besok Senin aku sakit. Tidak akan pergi sekolah.”

Aku memberikan amplop putih kepada ibu. Kukatakan padanya untuk menitipkan surat ijin itu pada kawanku. Dia tinggal di seberang sungai di depan rumah. Ibu hanya perlu menyebrangi jembatan bambu untuk tiba di pekarangan kawanku. Akan tidak elok jika aku yang memberikannya langsung.

Ibu tampak berpikir keras sembari memandang sanksi si amplop putih. Ia tak segera menerima benda itu. Ia lalu menoleh jam dinding. Saat itu pukul setengah satu siang. Aku baru saja tiba di rumah sejam yang lalu. 

“Bagaimana kau tahu kau akan sakit Senin besok? Sekarang masih Sabtu."

Aku mendesakkan amplop itu ke telapak tangan ibu, seperti gerak orang-orang muda pulang dari perantauan yang menyantuni para sepuh di desa ketika lebaran. 

“Aku sudah sakit sekarang, Bu.”

Ibu memegang dahiku. Ketika dia akan membuka mulutnya untuk bersuara, aku mendahuluinya. “Sekarang belum terasa panasnya. Tapi aku merasa sakit sekali, tidak tahu di mana. Nanti panasnya akan menyusul.”

Aku kemudian pamit tidur kepada ibu sekaligus mohon ijin tidak menemaninya menjalankan ambisi kerumahtanggaan. Aku tidak ingat persisnya saat itu bulan apa. Akan tetapi, ibu sedang tidak bersiaga dua atau berada dalam rencana hidup lebih memprihatinkan dari biasanya. Ibu tidak keberatan dan sepertinya tampak lega karena ia tak akan mendengarku mengeja pelajaran IPA bab mikroorganisme sambil menyapu lantai sementara ia menjumput dan menyuapi mulutnya dengan remah nasi dan bumbu yang menempel di piring dan mangkuk dan wajan di tempat cuci sebelum menyabun tumpukan itu hingga mengilap. Biasanya ibu akan berceloteh tentang kemampuannya menundukkan bakteri dan virus karena kegigihannya menelan biji mahoni.

“Kau mau Ibu antar periksa ke mantri?” Tawaran itu datang dari ibu pada hari ketiga aku mengatakan sakit. 

Aku menggeleng. 

Ia tidak lagi memiliki gagasan cemerlang untuk membuatku kembali bugar. Ia telah berupaya keras menyembuhkanku selama tiga hari. Ia memberiku kunyit asam dengan sari tubuh cacing tanah saat pagi. Ia membalut tubuhku dengan tumbukan kencur, bawang merah, dan beras sepanjang malam. Ia meletakkan seember air di samping teras pada pukul sembilan malam hingga pukul tiga sore keesokan hari lalu memandikanku dengan air itu. Ibu menggumamkan mantra yang aku akrabi sejak bayi, berulang-ulang hingga prosesi mandi itu selesai. 

Adus banyu gege

Ilanga bajang sawane

Kariya seger warase

Genduk gelis gedhe 

Pinter sakabehane


Mandi air yang dipenuhi doa

Hilanglah segala penyakit

Tinggallah bugar sehat

Nak (perempuan) cepatlah besar

Lihat selengkapnya