WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #5

Tembang Awal Mula

Ibu tidak terlahir miskin. Tetapi ia adalah perempuan yang bekerja keras sepanjang hidupnya. Ketika berupa janin, ia telah gigih mempertahankan nyawanya yang akan diambil paksa oleh dukun beranak.

Saat mengandung ibu, nenek berusia delapan belas tahun. Ia telah hamil dua kali tetapi kedua janinnya meninggal di hari ke sembilan puluh sembilan. Lalu, kehamilan ketiga yang telah lama ditunggu, diramalkan akan membawa sial oleh seseorang yang kebetulan berpapasan dengan nenek di pasar. Mereka tidak berpapasan untuk kedua kali dan seterusnya. Namun, orang itu menyambangi nenek dalam mimpi saban malam. Nenek membagi kecemasannya pada kakek. Kakek menyampaikannya–tanpa sengaja–kepada seorang sepupu, saat mereka sedang mabuk di malam musim kemarau yang dingin, disaksikan para sepupu lainnya. Kabar itu seperti wabah, begitu cepat menyebar, menginfeksi alam pikir para sesepuh keluarga besar.

Orang-orang pintar didatangkan. Mereka mengatakan hal yang seragam. Janin dalam perut nenek sebaiknya tidak dilahirkan. Lalu serangkaian prosesi penjegalan dilakukan. Nenek dipaksa minum ramuan penggugur. Kemudian dukun beranak pilihan memijit perutnya. Mulut sang dukun tidak diam. Mantra-mantra terus dinyanyikan. Darah merembes dari selangkangan. Gumpalan janin tidak keluar. Dukun beranak bilang, janin di dalam perut nenek pandai bertahan.

Kakek tidak tega melihat istrinya kesakitan. Janin yang keras kepala dan nenek yang menginginkan keberadaannya di dunia. Ia membelot para sesepuh, uring-uringan. Orang-orang yang dituakan itu kembali berembuk--lalu, diputuskan janin itu akan dihantarkan ke dunia, tetapi ia akan berada jauh dari rumah utama seumur hidupnya untuk menjauhkan aroma sialnya dari keluarga Dharma Gumilar yang sedang mencapai masa kejayaan.

Dua minggu menjelang persalinan, nenek pindah ke gudang perkakas yang terbengkalai di perkebunan pisang yang disulap menjadi tempat tinggal. Ia ditemani dua abdi keluarga dengan disertai seorang dukun beranak.

Janin itu telah mencuri perhatian sejak berpisah dari rahim sang ibu. Tubuhnya sangat kecil dan tampak ringkih dalam balutan ketuban yang utuh. Ibuku menggagalkan pergunjingan tentang dirinya. Ia membuktikan ia adalah bayi pilihan.

Dia adalah pertanda keberuntungan, kejayaan, keberlimpahan, dan kekuatan. Begitu kata para sesepuh, setelah melihat ibu meringkuk dalam ketuban utuh.

Kakek memecahkan ketuban dengan giginya.

Hawa dingin subuh menyambut kulit lembut ibu yang terbiasa berenang dalam kehangatan air ketuban. Ia menangis. Matanya terbuka. Sesuatu yang jarang terjadi pada kebanyakan bayi baru lahir di tahun tujuh puluhan di desa kami. Pada tahun-tahun itu, bayi umumnya membutuhkan waktu hingga empat puluh hari untuk membuka mata.

Kakek menyimpan ketuban itu bersamaan dengan tali pusar ibu yang lepas di hari ketujuh. Bertepatan dengan acara sepasaran (puputan tali pusar) yang digelar besar-besaran sebagai upaya permintaan maaf pada ibu karena mereka pernah bermaksud menghalanginya hidup. Kakek memberinya nama tokoh dalam pewayangan, Dewi Sembadra. Dewi yang digambarkan lembut, patuh, dan setia.

Akan tetapi, nama itu diubah pada hari ketiga puluh lima, ketika perayaan selapanan (tradisi pengingat bahwa bayi telah bertumbuh). Nama itu, nama seorang dewi, terlalu berat untuk ibu, kata para sepuh, karena ia sering menangis tengah malam hingga menjelang subuh.

Ibu mendapatkan nama barunya, Dyah Menur, setelah pemotongan rambut dan kuku miliknya yang sama sekali belum mengenal gunting sejak hari pertama lahir. Jemari ibu yang keriput oleh sarung tangan yang dikenakan selama sebulan lebih, akhirnya bebas bersentuhan dengan udara segar dan merasakan dengan nyata keberadaan tubuhnya.

Lihat selengkapnya