Ada tiga ekor burung putih yang terbang bersisian. Ada awan tipis, seperti asap, yang bergerak menuju gumpalan-gumpalan tebal. Pada posisi yang lebih rendah, capung-capung terbang tidak terarah. Di langit. Semua itu ada di langit, sebuah wadah biru yang menampung doa-doa, kata ibu.
Aku mengulurkan tangan seolah aku menggapai wadah biru itu. Aku ingin menyibak awan. Aku ingin melihat antrian doa-doa, apakah seperti gelembung-gelembung sabun yang menunggu dipecahkan atau–apakah seperti setandan pisang yang mesti diperam. Lalu doa-doa yang apkir, apakah mereka digugurkan bersama hujan. Lalu didaur ulang. Aku ingin mengintip satu persatu milik ibu, bapak, dan kawan-kawanku.
Namun, itu jauh sekali.
Aku pernah melompat menggapai wadah biru. Akan tetapi, aku selalu kembali ke bumi--nyaris terjerembap dengan napas memburu. Kata guru, bumi menarik benda-benda. Barangkali bumi menarikku terlalu kencang atau barangkali langit yang terlalu jauh.
Jauh sekali.
Lalu aroma tahi sapi yang ditimang-timang angin mengembalikan jangkauan mataku pada pucuk-pucuk dahan mangga, lalu pohon-pohon jagung, lalu pantat-pantat sapi, lalu wajah-wajah kambing yang bagiku tampak seperti wajah yang terus-menerus khawatir.
Aku mengubah posisiku, yang semula telentang, lalu berbaring menyamping. Derit kursi bambu yang menampung tubuhku mengingatkanku pada gesekan suara rumpun bambu yang seperti akan patah saat angin kencang. Orang-orang bilang, bapakku sedang lewat ketika rumpun bambu di sisinya tiba-tiba merunduk seperti akan roboh. Saat itu sore setelah hujan. Orang-orang berkumpul di bantaran sungai menyaksikan arus air yang membuncah. Bapakku usianya enam tahun. Ia juga kanak-kanak yang penasaran. Namun, alam memberinya lebih daripada sekadar jawaban dari rasa ingin tahu. Ia tidak hanya melihat air yang bergejolak dengan suara berdentum-dentum, tetapi ia juga melihat serumpun bambu merunduk untuk memeluknya. Suara deritnya, kata orang-orang, seperti uji coba kiamat kecil. Orang-orang berlarian mengagungkan nama Tuhan dan leluhur. Bapakku bersama seorang lelaki paruh baya adalah pengecualian. Mereka tidak bisa menggerakkan mulut dan badan. Rasa takut menahan mereka di sana.
Seseorang segera berbalik menggendong bapak ketika mengetahui rumpun bambu itu tidak benar-benar roboh. Jarak lengkungan dahan bambu ke kepala bapak masih tersisa banyak. Daun-daun itu bahkan tidak menyentuhnya juga si lelaki paruh baya. Hanya guyuran sisa air hujan yang disimpan bambu-bambu itu, yang mengenai mereka, membasuh tubuh mereka dengan suhu dingin yang tidak sopan. Orang-orang bilang, penunggu bambu meludahi bapak dan lelaki paruh baya.
Si paruh baya mengalami kelumpuhan separuh badan. Ia menjalani sepuluh tahun sisa hidupnya di atas kasur sebelum pindah tidur ke dalam tanah. Bapakku tidak menangis. Ia seketika pingsan dalam gendongan. Dukun anak membombardir pijatan yang menyakitkan dan meninggalkan memar kebiruan di tubuh bapak.
Bapakku tumbuh menjadi lebih pendiam dan merasa sering kelelahan. Setiap kali melakukan sesuatu yang agak berat, jantungnya akan berdebar-debar. Itu adalah salah satu alasan ia tidak pernah tergesa-gesa dalam hidupnya.
Pada posisi miring, aku melihat ibu dan bapak yang sedang menyabit rumput. Mereka saling memunggungi. Jika dari kejauhan begitu, dengan raut wajah yang buram, mereka tampak sebagai orang yang tidak pernah bersinggungan.
Mereka hampir tidak pernah melakukan pekerjaan bersama-sama. Bapak biasanya ke kebun pada saat masa tanam. Ia mengawasi pekerja yang sedang membajak tanah. Tiga hari kemudian, ia menanam jagung jika saat itu masa tanam jagung. Bapak juga menanam kacang tanah dan cabai. Lalu setelah masa tanam selesai, bapak tidak pernah ke kebun. Ibu yang melanjutkan tugas memupuk, merawat tumbuhan-tumbuhan itu.
Bapak kembali kepada ikan-ikan di sungai. Ketika musim kemarau tiba, bapak juga akan banyak menghabiskan malam-malamnya di sawah, menerbangkan layang-layang besar dengan bunyi nyaring, berbaur dengan pemuda-pemuda desa.
Bapak akan datang meminta bagiannya, ketika masa panen tumbuhan yang pernah ditanamnya tiba. Kendati bersungut-sungut, ibu tetap memberikannya. Aku tidak tahu bagaimana persisnya semua itu bermula. Sejak aku menyadari keberadaanku sebagai benda hidup dan keberagaman lingkunganku, kira-kira pada usia lima tahun, mereka telah meninggikan pagar masing-masing.
Aku akan tertidur jika saja ibu tidak menepuk-nepuk tangannya, melambai, memintaku mendekat. Aku berjalan tak ubahnya sehelai ilalang menahan olok-olok angin. Saat aku sudah di sisinya, ibu lalu menginstruksikan apa yang mesti aku lakukan. Di samping ibu, ada setumpuk rumput di atas selembar karung yang telah digunting satu sisinya, membuatnya cukup lebar untuk menampung segala benda. Ibu mengatakan untuk memberikan rumput itu kepada sapi-sapi.
Pada saat itu, kepada ibu, bapak berpamitan untuk istirahat dan makan. Kemudian kami berjalan beriringan. Ia membawa rumput dua kali banyak milikku. Napas bapak terengah-engah. Bajunya basah oleh keringat. Kami saling diam. Aku meresapi aroma keringat bapak, serupa cacahan rumput yang layu dengan banyak siraman cuka.